Skip to main content

Wanita Terkurus di Dunia, Tubuhnya Hanya Tinggal Tulang Belulang



Banyak wanita yang melakukan diet ketat demi mendapatkan tubuh yang langsing. Namun yang dialami Valeria Levitin tampaknya adalah yang terburuk. Tubuhnya begitu kurus, hanya tinggal tulang yang terbungkus kulit. Ia pun dianggap sebagai wanita terkurus di dunia.

Dengan tinggi mencapai 172 cm, berat badan Valeria Levitin hanya 26 kg. Berat badannya kurang dari setengah berat badan sehat yang dianjurkan untuk wanita. Tak heran bila ia disebut-sebut sebagai wanita paling kurus di dunia.

Selama bertahun-tahun Valeria telah melakukan diet ketat yang juga disertai gangguan makan anoreksia ekstrem. Hal ini jelas membuat tubuhnya jauh dari kategori sehat.

Namun yang paling mengkhawatirkan, wanita 39 tahun asal Rusia ini malah mendapatkan banyak surat penggemar dari gadis-gadis putus asa yang ingin memiliki tubuh kurus sepertinya.

"Saya telah menerima email dari gadis-gadis muda yang ingin saya mengajarkannya bagaimana menjadi seperti saya. Semua surat itu berasal dari wanita, terutama usia dua puluhan, yang melihat saya sebagai semacam inspirasi," jelas Valeria, yang kini tinggal di Monako, seperti dilansir Thesun.

Melihat tubuhnya yang amat kurus dijadikan inspirasi, Valeria kini mengambil langkah berani untuk berbicara tentang kondisinya dan kampanye melawan anoreksia. Ia pun menolak mengajarkan gadis-gadis muda tersebut bagaimana 'cara mati'.

Valeria mulai mengembangkan gangguan makan sejak remaja. Ia mengatakan penyakit ini telah menghancurkan hidupnya. Oleh karena itu, ia tidak ingin wanita lain mengalami nasib yang sama dengannya.

"Anoreksia telah membuat saya kesepian, tidak menarik dan menjijikkan bagi orang-orang di sekitar saya," ujarnya.

Valeria menganggap akar dari masalah adalah ibunya, yang takut Valeria tumbuh gemuk seperti kerabat-kerabatnya. Sebagai anak kecil, pola makan Valeria sudah sangat dibatasi.

Sang ibu selalu meminta Valeria menimbang berat badan untuk memastikan tubuhnya tidak semakin gemuk. Ketika berusia 16 tahun dengan berat badan mencapai 63 kg, Valeria pindah ke Chicago dengan orang tuanya.

Takut tak bisa menyesuaikan diri di sekolah baru, ia berpikir harus menurunkan berat badan agar bisa diterima dan disukai oleh teman-teman baru.

Akibatnya, ia melakukan diet yang lebih ketat dengan tidak makan gula atau karbohidrat. Ironisnya, karena begitu lama tak makan makanan tertentu, tubuhnya menjadi tidak toleran lagi dan tidak dapat memproses makanan meski ia menginginkannya.

Pada usia 23 tahun, ukuran bajunya telah anjlok dari ukuran sehat 12 menjadi 6. Memutuskan menjadi model membuat situasinya lebih buruk lagi, karena ia diberitahu ia masih terlalu gemuk.

Berat badannya terus menurun. Pada usia 24 tahun, tubuhnya hanya tinggal 38 kg. Ia pun dilarang untuk menari karena dapat melukai tubuhnya sendiri. Makin tahun makin memprihatinkan. 10 tahun kemudian, ia harus berkonsultasi dengan 30 dokter spesialis karena berat badannya hanya 23 kg.

Kini, jika ingin makan suatu makanan, tubuhnya tak bisa lagi memprosesnya. Banyak makanan yang harus dihindari karena tak cocok lagi dengan tubuhnya. Ia pun tak bisa lagi mengingat bagaimana rasa beberapa makanan.

Penyakitnya juga telah membuat hidupnya sangat kesepian. Ia tak punya pasangan selama 10 tahun. Hubungan asmaranya selalu sulit karena ia tidak mampu melakukan hal-hal normal yang pasangan lakukan, seperti makan malam di restoran.

Kini ia percaya tidak bisa disembuhkan hanya dengan pergi ke dokter. Berat badannya tak kunjung naik meski sudah berkonsultasi dengan banyak dokter spesialis.

Sebaliknya, ia mengatakan masalahnya adalah kurangnya harmoni antara tubuh dan jiwa. Valeria kini harus mengonsumsi suplemen vitamin untuk melawan risiko memar dan menghindari situasi yang membuat kondisinya makin parah.

"Saya ingin berdiri untuk anoreksia. Saya tidak pernah menyerah pada apa pun dalam hidup dan saya tidak akan menyerah sekarang," tutupnya.

Comments

Popular posts from this blog

Berkunjung ke Kampung Pengembara Laut Suku Bajo Buton

Mencentang satu lagi destinasi yang sudah lama ada di bucketlist Pulau Buton: Kampung Suku Bajo. Suku Bajo dikenal sebagai pengembara laut ulung. Laut bagi mereka bukan hanya tempat mencari nafkah, tetapi juga rumah untuk tinggal. Mereka hidup di atas dan di bawah lautan. Mengapung dan menyelam di sana. Anak kecil hingga orang dewasa. Masyarakat Suku Bajo sering hidup berpindah-pindah. Mereka membuat perkampungan sendiri di atas karang dan mengapung di lautan, terpisah dari pemukiman warga di daratan. Di Indonesia, Suku Bajo bisa ditemui di perairan Kalimantan Timur (Berau, Bontang), Kalimantan Selatan (Kota Baru), Sulawesi Selatan (Selayar), Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur (Pulau Boleng, Seraya, Longos, Komodo), Sapeken, Sumenep, dan wilayah Indonesia timur lainnya. Saya beruntung bisa menyaksikan sendiri keseharian masyarakat Suku Bajo di Pulau Buton. Mereka membuat perkampungan di Desa Kondowa atau dikenal dengan Bajo Bahari, Kecamatan Wabula,

2,5 Tahun Menunggu Raina

Raina Nahda Fauzi.  Itulah nama yang saya dan suami berikan pada anak pertama kami. Bayi perempuan cantik yang kehadirannya sudah lama kami nantikan. Saya memang tak 'seberuntung' perempuan lain yang langsung hamil setelah sebulan, dua bulan, atau tiga bulan menikah. Raina lahir 31 Oktober 2015, dua setengah tahun setelah saya menikah. Di awal pernikahan, saya dan suami memang sepakat untuk menunda kehamilan. Alasannya karena kami masih sibuk mondar-mandir mencari rumah. Namun, di saat kami sudah punya rumah sendiri dan siap untuk memiliki momongan, kehamilan justru tak kunjung datang. Beberapa bulan saya mencoba hamil secara alami, hasilnya nihil. Saya dan suami pun memutuskan untuk mencari bantuan dokter. Kami sama-sama memeriksakan diri. Ternyata masalahnya ada di tubuh saya. Saya didiagnosa menderita polycystic ovary syndrome (PCOS) atau sindrom ovarium polikistik, yaitu gangguan hormonal yang umum di kalangan perempuan usia reproduksi. Perempuan dengan PCO

PCOS, Olahraga, dan Hamil Lagi

Saya hamil lagi. Rasanya tak percaya saat melihat hasil test pack pagi itu. Dua garis merah, satu tegas satu samar, tapi jelas menggambarkan hasilnya positif. Saya kaget, sungguh tak menyangka bakalan hamil lagi secepat ini. Saya penderita  polycystic ovary syndrome  (PCOS). Dulu saya harus terapi macam-macam dan minum obat ini itu untuk bisa hamil Raina. Juga butuh waktu lama dan biaya yang tidak sedikit. ( Baca juga: 2,5 Tahun Menunggu Raina ) Alhamdulillah hamil kali ini benar-benar rezeki tak terkira dari Allah. Saya hamil alami tanpa program apapun, tanpa minum obat apapun. Umur Raina juga sudah 2 tahun, jadi saya tidak punya hutang menyusui lagi. Allah Maha Baik. Pakai kontrasepsi? Semenjak Raina lahir hingga ulang tahun ke-2 saya selalu menggunakan kontrasepsi. Lho? Bukannya PCOS bakalan susah hamil? Iya, memang. Haid saya masih belum teratur bahkan setelah Raina lahir. Tapi tidak separah sebelum punya anak. Dan saya ingat pesan dokter kandungan