Raina Nahda Fauzi. Itulah nama yang saya dan suami berikan pada anak pertama kami. Bayi perempuan cantik yang kehadirannya sudah lama kami nantikan.
Saya memang tak 'seberuntung' perempuan lain yang langsung hamil setelah sebulan, dua bulan, atau tiga bulan menikah.
Raina lahir 31 Oktober 2015, dua setengah tahun setelah saya menikah.
Di awal pernikahan, saya dan suami memang sepakat untuk menunda kehamilan. Alasannya karena kami masih sibuk mondar-mandir mencari rumah. Namun, di saat kami sudah punya rumah sendiri dan siap untuk memiliki momongan, kehamilan justru tak kunjung datang.
Beberapa bulan saya mencoba hamil secara alami, hasilnya nihil. Saya dan suami pun memutuskan untuk mencari bantuan dokter. Kami sama-sama memeriksakan diri. Ternyata masalahnya ada di tubuh saya.
Saya didiagnosa menderita polycystic ovary syndrome (PCOS) atau sindrom ovarium polikistik, yaitu gangguan hormonal yang umum di kalangan perempuan usia reproduksi.
Perempuan dengan PCOS memiliki banyak kista kecil yang terletak di sepanjang tepi luar dari masing-masing ovarium (indung telur). Istilah gampangnya, sel telur saya kecil-kecil.
Kondisi ini menyebabkan tidak adanya ovulasi, sehingga menyulitkan saya untuk mendapatkan keturunan.
Menurut dr Jolanda Refanya Labora, SpOG, dokter obgyn RS Mitra Keluarga Depok, yang menangani saya, gejala yang paling sering dirasakan oleh penderita PCOS adalah kegemukan, periode haid yang tidak teratur atau berkepanjangan, pertumbuhan rambut berlebih, dan jerawat.
Kegemukan dapat memicu terjadinya resistensi insulin dan menyebabkan tingkat insulin tinggi di dalam tubuh. Insulin yang tinggi akhirnya membuat sel telur tidak dapat berkembang dan gagal mengalami ovulasi (pelepasan sel telur matang atau dikenal dengan masa subur).
Nah, yang aneh dan juga membuat dokter bingung, perawakan saya tidak memperlihatkan PCOS. Saya tidak gemuk, juga tidak berjerawat.
Lalu bagaimana dokter tahu saya PCOS? Satu-satunya gejala adalah periode haid yang tidak teratur. Untuk memastikan diagnosa, dokter melakukan pemeriksaan USG transvaginal. Dari situ terlihat bahwa sel telur saya memang kecil-kecil dan tidak mau matang.
Tadinya haid tidak teratur saya anggap normal, karena toh ibu saya juga mengalami hal yang sama.
Sebelum menikah, saya memang sering terlambat haid. Malah pernah 5 bulan tidak haid waktu lagi sibuk-sibuknya skripsi. Tapi karena saat itu masih single, jadi ya saya juga tidak ambil pusing. Ternyata itu yang membuat susah punya anak.
Dokter kemudian menyarankan untuk terapi obat. Sebulan awal, saya diberi resep obat pelancar haid dan perangsang ovulasi. Bentuk dan aturan minumnya seperti pil KB, harus diminum teratur di jam yang sama setiap hari.
Benar saja, haid saya jadi teratur. Tepat 28 hari setiap bulannya.
Obat selanjutnya adalah obat diabetes. Metformin, saya ingat betul namanya.
Kenapa harus obat diabetes? Seperti yang saya jelaskan di atas, PCOS berhubungan dengan resistensi insulin. Jadi obatnya untuk membuat insulin lebih sensitif.
Selain pemberian obat, penderita PCOS umumnya juga diminta memodifikasi gaya hidup menjadi lebih sehat, terutama untuk menurunkan berat badan. Karena tubuh saya tidak gemuk, menurut dokter terapi saya bisa lebih cepat. Minimal 3 bulan.
Tapi setelah 3 bulan teratur minum obat, sampai-sampai wajah saya penuh jerawat (efek yang aneh, karena seharusnya terapi obat justru mengurangi jerawat), saya tidak juga hamil. Setiap datang bulan, saya harus 'setor muka' ke dokter dan minta obat lagi.
Bulan ke-4, ke-5, ke-6, terapi saya belum juga ada hasil. Sementara jerawat yang tumbuh di wajah semakin banyak. Belum lagi efek lemas karena gula darah drop setelah minum Metformin (namanya juga obat diabetes, fungsinya ya menurunkan gula darah).
Tapi itu belum apa-apa. Yang paling menyiksa sebenarnya menghadapi pertanyaan "Sudah isi?", "Belum hamil juga, ya?" dari saudara, tetangga, atau teman. Sungguh, itu bikin saya makin stres.
Masalah makin bertambah karena di saat sedang program hamil, suami malah harus masuk asrama selama 6 bulan karena dapat pekerjaan baru. Hanya bisa pulang ke rumah saat akhir pekan, itu pun tidak boleh menginap. Jadi ya kami 'kejar setoran' tiap Sabtu-Minggu. Soal hamil, untung-untungan saja.
Karena terapi obat belum juga ada hasil setelah beberapa bulan, dokter meminta saya melakukan pemeriksaan Histerosalpingografi (HSG), yaitu pemeriksaan sinar X dengan memakai cairan kontras yang dimasukkan ke rongga rahim dan saluran telur (tuba fallopii).
Tujuannya untuk mengetahui kondisi saluran telur, sekaligus mengetahui apakah ada sumbatan dan letaknya pada saluran telur yang bisa menyebabkan infertilitas.
Keluar dari ruang dokter kandungan, saya pun langsung bikin janji ke bagian radiologi.
Pemeriksaan HSG dilakukan sesudah haid tapi sebelum ovulasi, antara hari ke-9 sampai ke-14 siklus haid, untuk memastikan saya tidak hamil ketika pemeriksaan dilakukan. Saya juga tidak boleh melakukan hubungan seksual dari sesudah haid sampai sebelum pemeriksaan.
Saat pemeriksaan, saya diminta mengganti baju dengan baju pemeriksaan dan melepaskan perhiasaan. Agar tidak terlalu sakit, ada obat anti nyeri yang dimasukkan ke dalam anus. Setelah itu saya diminta berbaring dengan kedua paha terbuka (posisi litotomi), seperti pemeriksaan pap smear. Dokter radiologi kemudian memasukkan spekulum ke vagina sehingga mulut rahim terlihat, lalu kateter dimasukkan ke rongga rahim melalui mulut rahim.
Cairan kontras disuntikkan ke dalam rahim melalui kateter dan spekulum dikeluarkan. Beberapa foto rontgen kemudian diambil.
Bagaimana rasanya? Saat pemeriksaan saya merasakan kram perut seperti nyeri haid. Dan setelah efek obat anti nyeri hilang, saya tidak kuat lagi berdiri. Perut saya seperti diremas-remas. Sakit luar biasa. Mau ke kamar mandi saja jalannya sambil bungkuk-bungkuk.
Hasilnya keluar hari itu juga, tapi saya harus tunggu sekitar 1 jam. Alhamdulillah, tidak ada sumbatan di saluran telur saya. Semuanya normal. Kata dokter, satu-satunya masalah hanya PCOS.
Dokter menyuruh saya melanjutkan konsumsi Metformin. Tapi karena suami jauh dan jerawat makin merajalela, saya akhirnya libur minum obat. Benar-benar pasrah.
Di saat itu justru Allah menunjukkan kebesaran-Nya. Saya hamil di saat saya sudah tidak konsumsi obat sama sekali.
Dan semua benar-benar sudah diatur Allah. Saya tahu positif hamil tepat sehari setelah pengumuman bahwa suami harus bertugas di Makassar (entah untuk berapa lama). Artinya, kami harus menjalani hubungan jarak jauh dan hanya bertemu sebulan sekali. Bahkan sampai saya melahirkan status kami masih Long Distance Relationship (LDR).
Dokter kemudian memberi obat penguat kandungan dan Metformin tetap saya minum sampai kehamilan masuk bulan kelima. Tujuannya, agar hormon saya tetap terkontrol. Tapi minum obat diabetes di saat hamil bukan perkara mudah. Saya sering lemas dan mual jika salah waktu minum obat, terutama di trimester awal kehamilan.
Singkat cerita, Alhamdulillah kehamilan saya sehat (walaupun sempat ada tragedi rumput fatimah) sampai tiba waktu persalinan, meski tak mudah hamil sendirian jauh dari suami dan orang tua.
(Baca juga: 'Janinku Terancam karena Rumput Fatimah')
Setelah 2,5 tahun menunggu (tentu dengan usaha dan doa) kini suara tangis Raina sudah memenuhi rumah kami.
cerita yang mengharukan. semangat ya Merry, semoga ananda Raina menjadi anak saleha dan pintar nantinya. aamiin.
ReplyDeleteAmin. Terimakasih Srikandi. :)
DeleteSuka cerita nya Mer... semangat!!! 😊
ReplyDeleteTerimakasih mbak liya :)
DeleteSemoga Raina menjadi anak yang soleha. Nantinya dia mengerti bagaimana perjuangan ibunya. Jadi, sekarang di Makassar, kak?
ReplyDeleteAmin. Iyah sekarang menetap di Makassar ikut suami, Dit. Bakalan nomaden, tergantung lokasi penempatan kerja suami. :)
Deleteselamat bu.ozenk dan pak.ozenk :) semoga raina menjadi putri yang berbakti pada ortu aamiin.. perjuangan yang mengharukan...
Deleteselamat bu.. semoga raina jadi putri yg berbakti pd ortu aamiin... :) :) slm bwt ozenk... semoga cepet kumpul sama ayahe... :D
ReplyDeleteAmin. Makasih Ndra. Alhamdulillah sekarang sudah kumpul bareng ayahnya di Makassar. :)
DeleteWah, aku senang membaca cerita tentang kehamilan Raina :) Semangat jadi orang tua ya buat kalian berdua :D
ReplyDeleteMakasih mbak elida ;)
DeleteBunda mau tanya.. Saya jg penderita PCO.. Tp dah berhasil hamil tp obat metformin saya masih banyak.. Apakah boleh lanjut tetap minum metformin meski hamil trismester awal apa stop ya ?kmrn pas priksa kata dokter kog suruh stop minum metformin ya bund.. Mohon jawaban ya...
ReplyDeleteWah selamat atas kehamilannya mbak steppytha. Sepertinya tergantung kondisi kehamilan masing-masing mbak, dan dokter yang paling tahu. Jadi menurut saya, manut dokter mbak aja. Dulu saya memang masih minum metformin waktu hamil krn sempet ngeflek dan rawan sekali. Semoga bisa menjawab ya :)
DeleteApa kalau PCO itu rawan flek ya ? Karena saya 2016 jg pernah hamil tp flek jg dan pendarahan trs berakhir kuret.. Itu METFORMIN pengaruh ke janin gak ya bund kalau terus diminum ?
DeleteSaya kurang tau apakah bumil PCO akan selalu ngeflek ato nggak. Tp dulu dokter saya masih meresepkan metformin krn katanya utk menjaga hormon saya tetap stabil sampai janinnya kuat, jd meminimalisir janinnya luruh lagi. Aman gak buat janin? Aman. Cm memang hrs pas waktu minumnya, harus sehabis makan besar. Dan kalo utk trimester awal bisa nambah efek mual muntah, jd dulu jg dikasih obat anti mual dan penguat janin. Mending dikonsultasikan lg sama dokternya mbak, apa perlu metforminnya tetep lanjut. Kalo saya sih bersyukur disuruh stop metformin krn bikin mabok bgt.
DeleteTerima kasih tulisannya,, informatif dan sangat mensupport. Btw,, saya mau tanya mbak, ehh, saya tenri,, didiagnosa pcos juga, sekarang sudah 11 bulan nikah, terapi minum diane sudah 6 bulan dan inlacin bru 3 bulan. apa minum obat diabetes harus tepat waktu juga??
ReplyDeleteMba sya mau tanya donk boleh???
ReplyDeleteSilakan mbak. Bisa DM saya lewat instagram ya krn notif komen di blog jarang dicek :)
Delete