Skip to main content

Semalam Jadi Suku Baduy Dalam



Memang hanya semalam, tapi pengalaman yang aku rasakan begitu mendalam baik selama perjalanan menuju bukit pemukiman hingga kehidupan penduduk Baduy Dalam sendiri.
Berawal dari ajakan seorang teman, berangkatlah kami rombongan 16 orang dari Stasiun Kota Jakarta, 28 April 2012. Dalam satu rombongan tersebut, aku hanya kenal 3 orang, sisanya adalah kenalan baru. Pengalaman baru, rute baru dan teman baru.


Kami berangkat menggunakan kereta ekonomi jurusan Rangkas Bitung, sekitar 3 jam dari Stasiun Kota. Di kereta ekonomi seharga Rp. 2.000 itu kami sempat duduk dan foto bersama di gerbong barang. Tapi akhirnya kami memutuskan untuk duduk di bangku penumpang.
Yang menarik, ini adalah kami pertama aku naik kereta ekonomi. Mulai dari penuh sesak penjual minuman, makanan, aksesoris hingga pengemis yang meminta secara paksa, semua pengalaman itu aku nikmati secara hikmat.
Tibalah kami di Rangkas Bitung, Lebak, Banten, dilanjutkan naik elf sewaan menuju ke Ciboleger. Dari Ciboleger-lah kami memulai perjalanan kaki (atau lebih tepatnya tracking) sekitar 5 jam menuju pemukiman Baduy Dalam.
Ada sekitar 9 bukit yang kami naiki dan turuni, itu pun dengan medan yang luar biasa berat dan terjal. Terlebih bagiku yang bukan seorang pendaki gunung dan sudah lama tidak melakukan olahraga. Wah!
Baru track pertama saja tekanan darahku sudah drop, tapi sepertinya hanya karena tak ada pemanasan terlebih dahulu. Setelah track pertama dilewati, track-track berikutnya yang lebih curam Alhamdulillah terlewati dengan baik meski dengan upaya yang tidak mudah.
Pemandangan menuju pemukiman Baduy Dalam sangat luar biasa, begitu bersih dan asri. Penduduk asli setempat sepertinya sudah biasa naik turun gunung setiap hari, dengan membawa panggul hingga berpuluh-puluh kilo dan tanpa alas kaki. Kami yang tidak kuat membawa tas sendiri pun disediakan porter, yang tidak lain adalah penduduk Baduy Dalam yang perkasa.



Ciri khas penduduk Baduy Dalam sangat mudah dikenali, yaitu mengenakan pakaian serba putih, meski tidak semuanya. Bila Baduy Luar punya khas ikat kepala batik biru, maka Baduy Dalam adalah ikat kepala putih.
Di tengah jalan aku sempat bertanya dengan beberapa penduduk Baduy Dalam. Mereka bercerita pernah jalan kaki menuju Jakarta, bahkan hingga Bandung. Dari Baduy Dalam butuh waktu 3 hari jalan kaki menuju Jakarta, sedangkan Bandung bisa ditempuh hingga 5 hari. Mereka benar-benar jalan kaki, tak boleh naik kendaraan apapun. Wow!
Memang banyak pantangan bagi penduduk asli Baduy Dalam, seperti tidak boleh menggunakan alas kaki kemana pun, tidak boleh menggunakan kendaraan, sabun, sampo, deterjen, listrik atau alat modern apapun. Anehnya, mereka masih mau makan mi instan yang kami bawakan.
Dan untuk pengunjung, dilarang keras untuk memotret. Lepas dari perbatasan antara Baduy Luar dan Baduy Dalam, maka kamera dan ponsel harus dimatikan.
Jika penduduk yang melanggar, hukum adat akan berlaku. Mereka akan diusir dari Baduy Dalam dan tak diperbolehkan kembali lagi. Dan bagi pengunjung, kabarnya akan mengalami berbagai kesulitan ketika akan pulang kembali ke rumah.
Sebenarnya bila ada penduduk asli Baduy Dalam yang ingin hidup dengan cara lebih modern, mereka diperbolehkan untuk ‘keluar’ dari adat asli. Namun dengan syarat, tidak diperkenankan sama sekali untuk menginjakkan kaki lagi di Baduy Dalam.
Untuk urusan pernikahan, warga Baduy Dalam hanya menikah dengan sesamanya. Konon, banyak terjadi perkawinan incest dalam keluarga Baduy Dalam, karena memang tidak banyak orang yang bisa dinikahi.
Wajah anak-anak Baduy Dalam menurutku juga mirip-mirip. Ya mungkin karena mereka memiliki ikatan darah yang sangat dekat.
Anak-anak Baduy Dalam sama sekali tidak sekolah. Mereka tidak pernah mengenal baca tulis. Setiap hari mereka akan bermain atau membantu orang tuanya berladang di sawah di tengah gunung.

Seorang anak laki-laki berumur sekitar 10 tahun, yang kami temui di jalan, tampak memanggul sekantong padi yang beratnya mencapai 25 kg. Kami tercengang melihatnya. Tapi menurut bocah tersebut, itu bukan hal yang aneh baginya karena anak-anak Baduy Dalam memang sudah biasa naik turun gunung sambil membawa barang dengan berat hingga puluhan kilo.
Karena kehidupannya yang begitu aktif, tidak heran jika tidak ada penduduk Baduy Dalam yang mengalami obesitas atau kegemukan. Malah kaki mereka tampak begitu kekar karena setiap hari harus naik turun gunung.
Mereka mandi di sungai, tanpa sabun, tanpa odol dan tanpa sampo. Yang masih membuatku penasaran, apakah ketika haid perempuan-perempuan Baduy Dalam juga menggunakan pembalut? Ah sayang, pertanyaan itu masih belum sempat aku tanyakan hingga kepulangan kami keesokan harinya.
Kami tidur di lantai rumah panggung penduduk asli Baduy Dalam. Karena tak ada hiburan apapun, selepas Magrib suasana malam di Baduy Dalam sudah sangat hening. Kebanyakan penduduk asli sudah tidur jam 8 malam. Selepas itu, yang terdengar hanyalah suara-suara tamu asing seperti kami yang masih belum mengantuk. Sangat hening, hingga suara dari rumah yang berjarak beberapa blok pun terdengar.
Pintu-pintu rumah di Baduy Dalam tak ada yang memiliki kunci. Meski malam hari, pintu hanya disandarkan tanpa dikunci. Sepertinya rasa kepercayaan antar warga sangat tinggi, hingga tidak pernah curiga adanya maling.
Mereka sangat bersahaja, meski sering jalan-jalan di kota dan melihat bagaimana kehidupan moderen, tapi penduduk asli Baduy Dalam tetap saja hidup sederhana. Menurut sang ketua suku, harus ada suku yang benar-benar terlepas dan tidak terpengaruh dunia luar agar Indonesia ‘tetap ada’.
Keesokan harinya, kami bersiap-siap sedari Subuh. Sekitar jam 6 pagi kami sudah turun gunung lagi. Bila saat berangkat yang banyak dilalui adalah medan menanjak, maka kali ini kebalikannya yaitu medan turunan tajam.
Di tengah jalan saat kami kehabisan bekal air minum, air dari mata air langsung pun kami minum. Terasa sangat segar dan dingin di saat kami benar-benar kehausan.
Pada saat berangkat, ada seorang kenalan baru yang memiliki tubuh agak gemuk. Dengan badannya yang berbilang besar tentu saja mengalami kesulitan untuk naik dan turun gunung. Itulah sebabnya saat berangkat rombongan kami terpecah menjadi beberapa kelompok, sehingga tak sempat mengobrol.
Barulah saat pulang ini rombongan kami merasa saling dekat satu sama lain. Canda dan tawa pun mengiringi perjalanan pulang kami. Juga disertai ledekan-ledekan kecil yang semakin memancing tawa dan keakraban. Begitu bersahabat…
Turun gunung, kami pun kembali ke Jakarta dan siap menghadapi kehidupan 'keras' ibukota.

Comments

Popular posts from this blog

Berkunjung ke Kampung Pengembara Laut Suku Bajo Buton

Mencentang satu lagi destinasi yang sudah lama ada di bucketlist Pulau Buton: Kampung Suku Bajo. Suku Bajo dikenal sebagai pengembara laut ulung. Laut bagi mereka bukan hanya tempat mencari nafkah, tetapi juga rumah untuk tinggal. Mereka hidup di atas dan di bawah lautan. Mengapung dan menyelam di sana. Anak kecil hingga orang dewasa. Masyarakat Suku Bajo sering hidup berpindah-pindah. Mereka membuat perkampungan sendiri di atas karang dan mengapung di lautan, terpisah dari pemukiman warga di daratan. Di Indonesia, Suku Bajo bisa ditemui di perairan Kalimantan Timur (Berau, Bontang), Kalimantan Selatan (Kota Baru), Sulawesi Selatan (Selayar), Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur (Pulau Boleng, Seraya, Longos, Komodo), Sapeken, Sumenep, dan wilayah Indonesia timur lainnya. Saya beruntung bisa menyaksikan sendiri keseharian masyarakat Suku Bajo di Pulau Buton. Mereka membuat perkampungan di Desa Kondowa atau dikenal dengan Bajo Bahari, Kecamatan Wabula,

2,5 Tahun Menunggu Raina

Raina Nahda Fauzi.  Itulah nama yang saya dan suami berikan pada anak pertama kami. Bayi perempuan cantik yang kehadirannya sudah lama kami nantikan. Saya memang tak 'seberuntung' perempuan lain yang langsung hamil setelah sebulan, dua bulan, atau tiga bulan menikah. Raina lahir 31 Oktober 2015, dua setengah tahun setelah saya menikah. Di awal pernikahan, saya dan suami memang sepakat untuk menunda kehamilan. Alasannya karena kami masih sibuk mondar-mandir mencari rumah. Namun, di saat kami sudah punya rumah sendiri dan siap untuk memiliki momongan, kehamilan justru tak kunjung datang. Beberapa bulan saya mencoba hamil secara alami, hasilnya nihil. Saya dan suami pun memutuskan untuk mencari bantuan dokter. Kami sama-sama memeriksakan diri. Ternyata masalahnya ada di tubuh saya. Saya didiagnosa menderita polycystic ovary syndrome (PCOS) atau sindrom ovarium polikistik, yaitu gangguan hormonal yang umum di kalangan perempuan usia reproduksi. Perempuan dengan PCO

PCOS, Olahraga, dan Hamil Lagi

Saya hamil lagi. Rasanya tak percaya saat melihat hasil test pack pagi itu. Dua garis merah, satu tegas satu samar, tapi jelas menggambarkan hasilnya positif. Saya kaget, sungguh tak menyangka bakalan hamil lagi secepat ini. Saya penderita  polycystic ovary syndrome  (PCOS). Dulu saya harus terapi macam-macam dan minum obat ini itu untuk bisa hamil Raina. Juga butuh waktu lama dan biaya yang tidak sedikit. ( Baca juga: 2,5 Tahun Menunggu Raina ) Alhamdulillah hamil kali ini benar-benar rezeki tak terkira dari Allah. Saya hamil alami tanpa program apapun, tanpa minum obat apapun. Umur Raina juga sudah 2 tahun, jadi saya tidak punya hutang menyusui lagi. Allah Maha Baik. Pakai kontrasepsi? Semenjak Raina lahir hingga ulang tahun ke-2 saya selalu menggunakan kontrasepsi. Lho? Bukannya PCOS bakalan susah hamil? Iya, memang. Haid saya masih belum teratur bahkan setelah Raina lahir. Tapi tidak separah sebelum punya anak. Dan saya ingat pesan dokter kandungan