Skip to main content

Posts

Showing posts from 2016

Selamat Ulang Tahun, Raina!

31 Oktober 2015. Tegal masih pagi. Jarum jam belum tepat menunjuk angka delapan. Keriuhan rumah sakit di hari Sabtu pun belum tampak. Tapi saya sudah terlambat, dokter sudah menunggu. Saya bergegas menuju ruang bersalin di lantai dua. Sepi. Hanya ada dua bidan jaga. Empat ranjang bersalin tampak kosong, pun boks-boks mungil di ruangan sebelahnya. "Dokter Lisda sedang visit pasien. Tadi mbaknya ditunggu dari jam tujuh," kata salah satu bidan. Ya Tuhan, saya terlambat hampir satu jam. Bidan langsung menyuruh saya berbaring untuk cek pembukaan mulut rahim dan tes CTG (Cardiotocography). Sudah hampir seminggu pembukaan mulut rahim saya mandek di dua sentimeter. "Dua setengah," katanya sembari melepas sarung tangan lateks. Cuma bertambah setengah sentimeter. Saya pesimis bakal bersalin normal hari itu. Harapan melahirkan didampingi suami juga mulai samar. Saya diam, termangu menatap layar CTG yang belum dimatikan. Sapaan ramah dokter Lisda kemudian men

Bayi Main ke Wakatobi

Umur Raina baru genap 11 bulan ketika siang itu ayahnya tiba-tiba mengirim pesan, "Mau ikut gathering ke Wakatobi nggak sayang?" Sejenak saya berpikir, Wakatobi pulau kan? Terpencil kan? Otomatis saya pun mencari tahu di Google bagaimana kondisi taman nasional yang katanya mendunia tersebut. Cantik. Bawah lautnya luar biasa. Tapi jalan-jalan ke pulau bawa bayi? Di sana bayi bisa ngapain? Memang, dari pengalaman sebelumnya, Raina sangat menyenangkan saat diajak jalan-jalan jauh. Pertama kali naik pesawat Cengkareng-Makassar (sebelumnya lewat darat Tegal-Cengkareng) saat umur 3 bulan. Tidak rewel sama sekali. Sampai umurnya 9 bulan, total sudah 9 kali naik pesawat ke lima provinsi. Saya memang sering mengajaknya ke luar kota ikut ayahnya dinas. Mau naik pesawat, kereta, bus, taksi, angkot, motor, Raina tidak pernah rewel. Namun mendengar kata Wakatobi yang terpikir oleh saya: harus naik perahu, menyelam atau minimal snorkeling , ombak kencang, angin laut, jauh dari ru

'Mahmud Abas' yang Cengeng dan Galau

Semenjak hamil, ada banyak perubahan yang saya rasakan. Bukan soal perut membuncit atau lengan yang makin mirip samsak, tapi perubahan emosi. Saya jadi lebih cengeng, gampang menangis. Nonton FTV dengan cerita cemen saja saya bisa menangis tersedu-sedu. Sebelumnya tak pernah begitu. Ah, pengaruh hormon. Nanti setelah melahirkan juga hilang. Pikir saya. Memang benar. Setelah melahirkan saya tidak lagi menangis saat nonton FTV. Tapi 'kecengengan hamil' ternyata meninggalkan warisan. Saya semakin mudah menangis setelah menjadi seorang ibu. Melihat anak sakit, nangis. Anak muntah-muntah karena belum bisa makan telur, nangis. Anak rewel habis imunisasi, nangis. Lelah begadang berhari-hari, nangis. Anak begini nangis, anak begitu nangis. Duhduh... Saya yang dulu (berusaha) tak menangis di depan orang berubah jadi wanita cengeng yang dikit-dikit mewek. Menjadi ibu juga membuat saya tak pernah berhenti khawatir. Dari Raina lahir hingga sekarang umurnya 7 bulan lebih, en

Wajarkah Bayi Mencakar Wajah Sendiri?

Raina suka sekali mengusap-usap wajah saat ngantuk. Juga menggaruk-garuk kepalanya saat sedang menyusu. Tapi yang saya khawatirkan, dia suka mencakar wajahnya sendiri saat tidur, terutama malam hari. Sampai-sampai di jidat, hidung, dan pipinya sering ada bekas luka cakaran. Sebenarnya wajar nggak sih bayi suka mencakar wajahnya sendiri? Sebagai mantan jurnalis kesehatan, emaknya penasaran dong (mantan jurnalisnya nggak penting sih hehe). Saya kemudian mencoba mencari referensi sendiri, tentu harus akurat dan dari sumber terpercaya. Kemudian saya menemukan jawabannya di situs Babycenter. Kebetulan dulu saya juga sering menjadikan situs tersebut sebagai acuan menulis artikel. Dari situs itu, saya mendapat informasi bahwa kebiasaan bayi mencakar wajahnya tergolong normal. Menurut David Geller, dokter spesialis anak dari Bedford, Massachusetts, AS, bayi ( newborn dan infant ) memiliki sedikit kontrol terhadap tangannya. Pada tahap ini umum bagi mereka untuk sengaja menggaruk

Ibu Rumah Tangga Sarjana

Setiap wanita berhak memilih bagaimana ia bisa bahagia. Dan saya memilih menjadi ibu rumah tangga, walau bergelar sarjana. Memilih mengurus dapur, walau sedang duduk di posisi redaktur. Tidak sedikit yang mempertanyakan keputusan yang saya ambil. "Apa tidak sayang gelar sarjanamu?" "Ngapain kuliah susah susah kalau akhirnya cuma tinggal di rumah?" "Nggak takut nggak punya gaji?" Dan lainnya dan lainnya. Sebelum menikah saya memang ingin sekali menjadi wanita karier. Dan buat gadis yang tidak bisa duduk diam, menjadi jurnalis tentu pilihan yang asyik. Tidak perlu seharian duduk di belakang meja menghadap monitor. Bisa keliling ibukota, Indonesia, atau bahkan dunia. Tapi pekerjaan itu yang justru mengubah pola pikir awal saya. Sebagai jurnalis kesehatan, saya sering meliput talkshow atau seminar umum tentang kesehatan dan pola asuh anak. Satu tema menarik yang kemudian mengubah mindset saya : 1000 hari pertama kehidupan. 1000 hari pertama keh

2,5 Tahun Menunggu Raina

Raina Nahda Fauzi.  Itulah nama yang saya dan suami berikan pada anak pertama kami. Bayi perempuan cantik yang kehadirannya sudah lama kami nantikan. Saya memang tak 'seberuntung' perempuan lain yang langsung hamil setelah sebulan, dua bulan, atau tiga bulan menikah. Raina lahir 31 Oktober 2015, dua setengah tahun setelah saya menikah. Di awal pernikahan, saya dan suami memang sepakat untuk menunda kehamilan. Alasannya karena kami masih sibuk mondar-mandir mencari rumah. Namun, di saat kami sudah punya rumah sendiri dan siap untuk memiliki momongan, kehamilan justru tak kunjung datang. Beberapa bulan saya mencoba hamil secara alami, hasilnya nihil. Saya dan suami pun memutuskan untuk mencari bantuan dokter. Kami sama-sama memeriksakan diri. Ternyata masalahnya ada di tubuh saya. Saya didiagnosa menderita polycystic ovary syndrome (PCOS) atau sindrom ovarium polikistik, yaitu gangguan hormonal yang umum di kalangan perempuan usia reproduksi. Perempuan dengan PCO

Janinku Terancam karena Rumput Fatimah

Rumput Fatimah (Ilustrasi: Panoramio) Kamu pernah dengar tentang Rumput Fatimah? Tanaman tersebut cukup masyhur di Indonesia, tapi saya termasuk sebagian orang yang sama sekali tidak tahu-menahu soal Rumput Fatimah, hingga akhirnya saya melihat dan mengonsumsinya sendiri. Dirangkum dari berbagai sumber, tanaman dengan nama latin Anastatica hierochuntica L ini banyak ditemukan di Timur Tengah dan Gurun Sahara. Di negara asalnya, tanaman ini dikenal dengan nama Kaff Maryam yang artinya telapak kaki maryam. Sementara orang-orang Barat menyebutnya dengan Rose of Jericho. Jika mengetik 'rumput fatimah' di mesin pencari Google, akan muncul berbagai artikel yang menjelaskan apa itu Rumput Fatimah. Semuanya berhubungan dengan ibu hamil dan persalinan. Rumput Fatimah dikenal sebagai perangsang persalinan. Orang-orang dulu sangat percaya tanaman yang banyak tumbuh di daerah kering dan padang pasir tersebut bisa mempercepat kontraksi yang pada akhirnya mempercepat pers