Skip to main content

Baru Umur 25 Tahun Sudah Tak Punya Gigi karena Minum Soda Tiap Hari



Sudah banyak penelitian membuktikan bahwa soda dapat merusak gigi. Seorang pria asal Australia ini sudah merasakan betul dampaknya. Gara-gara tiap hari minum soda, kini ia sudah tidak punya gigi meski usianya baru 25 tahun.

William Kennewell terpaksa menggunakan gigi palsu lengkap karena ia mengalami kerusakan gigi parah dan harus kehilangan semua giginya akibat minum 6-8 liter soda setiap hari.

Pemuda yang bekerja di hotel ini sudah berulang kali diperingatkan oleh dokter untuk meninggalkan kebiasaan buruknya, tapi ia selalu mengabaikannya dan tetap mengonsumsi minuman kesukaannya tersebut.

Akibatnya, semua giginya mengalami pembusukan dan kini harus menggunakan set lengkap gigi palsu di usia 25 tahun.

Tak hanya itu, kegemarannya menenggak minuman manis dan bersoda bahkan membuatnya mengalami keracunan darah.

"Saya minum antara 6 hingga 8 liter minuman ringan, sebagian besar cola (minuman berkarbonasi), setiap hari. Saya diberitahu bahwa orang normal punya 23 gigi, tapi saya hanya punya 13 dan itu harus disingkirkan," ujar William Kennewell, kepada The Advertiser, seperti dilansir Dailymail.

Pada kenyataannya, kebanyakan orang dewasa memiliki 28 atau 32 gigi, tergantung apakah mereka rajin merawat gigi. Yang dialami Kennewell bahkan lebih buruk lagi.

Kennewell yang tinggal di Salisbury, Adelaide, mengaku mulai gemar minum soda sejak bekerja di industri perhotelan. Ia merasa memiliki akses yang mudah untuk mendapatkan minuman berkarbonasi tersebut di hotel.

"Karena gigi saya membusuk begitu parah, hal ini menyebabkan keracunan darah yang hanya membuat saya sakit. Tapi kesehatan saya membaik dengan gigi palsu," jelasnya.

Ahli kesehatan Australia kini menggunakan kecanduan Kennewell sebagai studi kasus untuk menunjukkan mengapa anak-anak harus menghindari minuman bersoda.

Dr Jason Armfield, peneliti senior Australian Research Centre for Population Oral Health telah menyerukan peringatan kesehatan pada label minuman ringan untuk memasukkan risiko kerusakan gigi.


Comments

Popular posts from this blog

Berkunjung ke Kampung Pengembara Laut Suku Bajo Buton

Mencentang satu lagi destinasi yang sudah lama ada di bucketlist Pulau Buton: Kampung Suku Bajo. Suku Bajo dikenal sebagai pengembara laut ulung. Laut bagi mereka bukan hanya tempat mencari nafkah, tetapi juga rumah untuk tinggal. Mereka hidup di atas dan di bawah lautan. Mengapung dan menyelam di sana. Anak kecil hingga orang dewasa. Masyarakat Suku Bajo sering hidup berpindah-pindah. Mereka membuat perkampungan sendiri di atas karang dan mengapung di lautan, terpisah dari pemukiman warga di daratan. Di Indonesia, Suku Bajo bisa ditemui di perairan Kalimantan Timur (Berau, Bontang), Kalimantan Selatan (Kota Baru), Sulawesi Selatan (Selayar), Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur (Pulau Boleng, Seraya, Longos, Komodo), Sapeken, Sumenep, dan wilayah Indonesia timur lainnya. Saya beruntung bisa menyaksikan sendiri keseharian masyarakat Suku Bajo di Pulau Buton. Mereka membuat perkampungan di Desa Kondowa atau dikenal dengan Bajo Bahari, Kecamatan Wabula,

2,5 Tahun Menunggu Raina

Raina Nahda Fauzi.  Itulah nama yang saya dan suami berikan pada anak pertama kami. Bayi perempuan cantik yang kehadirannya sudah lama kami nantikan. Saya memang tak 'seberuntung' perempuan lain yang langsung hamil setelah sebulan, dua bulan, atau tiga bulan menikah. Raina lahir 31 Oktober 2015, dua setengah tahun setelah saya menikah. Di awal pernikahan, saya dan suami memang sepakat untuk menunda kehamilan. Alasannya karena kami masih sibuk mondar-mandir mencari rumah. Namun, di saat kami sudah punya rumah sendiri dan siap untuk memiliki momongan, kehamilan justru tak kunjung datang. Beberapa bulan saya mencoba hamil secara alami, hasilnya nihil. Saya dan suami pun memutuskan untuk mencari bantuan dokter. Kami sama-sama memeriksakan diri. Ternyata masalahnya ada di tubuh saya. Saya didiagnosa menderita polycystic ovary syndrome (PCOS) atau sindrom ovarium polikistik, yaitu gangguan hormonal yang umum di kalangan perempuan usia reproduksi. Perempuan dengan PCO

PCOS, Olahraga, dan Hamil Lagi

Saya hamil lagi. Rasanya tak percaya saat melihat hasil test pack pagi itu. Dua garis merah, satu tegas satu samar, tapi jelas menggambarkan hasilnya positif. Saya kaget, sungguh tak menyangka bakalan hamil lagi secepat ini. Saya penderita  polycystic ovary syndrome  (PCOS). Dulu saya harus terapi macam-macam dan minum obat ini itu untuk bisa hamil Raina. Juga butuh waktu lama dan biaya yang tidak sedikit. ( Baca juga: 2,5 Tahun Menunggu Raina ) Alhamdulillah hamil kali ini benar-benar rezeki tak terkira dari Allah. Saya hamil alami tanpa program apapun, tanpa minum obat apapun. Umur Raina juga sudah 2 tahun, jadi saya tidak punya hutang menyusui lagi. Allah Maha Baik. Pakai kontrasepsi? Semenjak Raina lahir hingga ulang tahun ke-2 saya selalu menggunakan kontrasepsi. Lho? Bukannya PCOS bakalan susah hamil? Iya, memang. Haid saya masih belum teratur bahkan setelah Raina lahir. Tapi tidak separah sebelum punya anak. Dan saya ingat pesan dokter kandungan