Hampir dua tahun saya meninggalkan dunia media, yang sudah saya geluti selama 6 tahun. Kangen? Kadang-kadang. Hehe. Apa sih yang paling dikangenin? Liputan tentunya, kalau kangen menulis kan bisa dilampiaskan lewat blog pribadi.
Yang seru dari liputan bukan hanya bahan yang didapat, tapi juga cerita perjalanannya, teman liputan, juga kejadian-kejadian yang sebenarnya justru tak mengenakkan.
Tak melulu liputan luar kota atau luar negeri sih, liputan lokal di Jakarta juga banyak yang berkesan. Contohnya saat bertemu pasien yang tenggorokannya bolong karena kanker (akibat rokok), bertemu dengan penderita thalassemia yang seluruh tubuhnya membiru tapi punya segudang cerita inspiratif, bertemu pecandu rokok yang tobat dan akhirnya jadi terapis berhenti rokok, pernah dihubungi dokter yang memohon artikelnya diturunkan karena surat izin praktiknya terancam dicabut gara-gara salah kasih informasi ke media, pernah juga dimarahi lewat telepon oleh produsen rokok elektrik yang nama produknya masuk ke dalam 'data hitam' Kemenkes yang kemudian saya kutip ke dalam artikel.
Seru ya? Seru banget. Walaupun banyak juga mumetnya ketika harus liputan seminar ilmiah kedokteran yang bahasa dan istilahnya saja sulit dimengerti, apalagi harus ditulis ulang pakai bahasa awam yang mudah dipahami.
Pengalaman saya mungkin belum ada apa-apanya dibanding para senior yang sudah puluhan tahun jadi jurnalis, apalagi bagi mereka yang menangani desk yang lebih menantang seperti nasional atau hukum. Ya, saya mah hanya remah-remah. Tapi bagi gadis yang dulunya pemalu, parno dengan Jakarta, berkenalan dengan dunia jurnalistik meski hanya 6 tahun merupakan pengalaman yang luar biasa.
Setidaknya dari ratusan liputan yang sudah saya jalani, ada beberapa pengalaman yang paling terngiang sampai sekarang.
Sejauh yang saya ingat, ini liputan paling melelahkan. Jadi dari Jakarta rombongan kami berangkat malam dan menginap di Bandara Sultan Hasanuddin semalam. Pagi-pagi sekitar jam 6 kami bertolak ke Morowali lewat jalur darat melintasi jalan trans Sulawesi. Kami mampir beberapa kali di jalan, di Palopo, Pare-pare, sampai akhirnya menginap di Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
Bitobe merupakan desa terpencil di Nusa Tenggara Timur. Di sana belum ada listrik, bahkan akses air bersih saja masih sulit. Tapi semangat belajar anak-anak Bitobe sungguh luar biasa.
Tapi itulah tradisi di sana, meski kasus infeksi saluran napas atas (ISPA) cukup tinggi, tapi warga setempat merasa lebih nyaman dan aman tinggal di rumah bulat ketimbang rumah berdinding semen.
4. Thailand dan Kamboja via Darat (2013)
Ini pengalaman pertama saya liputan lintas negara lewat darat. Liputan intinya adalah di Thailand tentang wisata kesehatan. Jadi Thailand waktu itu lagi gencar mempromosikan rumah sakit yang menyediakan jasa operasi plastik. Nah, setelah operasi bisa sekalian jalan-jalan keliling Thailand. Intinya seperti itu.
(Baca juga: Rayakan HUT RI Bersama Soekarno di Bangkok)
Kenapa harus ke Kamboja? Pihak Thailand juga mempromosikan ke orang-orang Indonesia kalau mau ke Kamboja, mau ke Angkor Wat, bisa lho lewat Thailand saja terus disambung lewat darat. Katanya bisa lebih murah.
(Baca juga: Rumah Antik dengan Kisah Misterius di Bangkok)
Ini berkesan buat saya karena bisa sekalian jalan-jalan di dua negara. Bisa keliling Thailand dan Kamboja.
(Baca juga: Terpukau Cantiknya Ladyboy Penari Kabaret di Kamboja)
5. Bangalore, India (2014)
1. Morowali, Sulawesi Tengah (2012)
(Perahu sebagai alat transportasi penghubung di Danau Matano. Kendaraan kecil seperti motor juga bisa naik.) |
Sejauh yang saya ingat, ini liputan paling melelahkan. Jadi dari Jakarta rombongan kami berangkat malam dan menginap di Bandara Sultan Hasanuddin semalam. Pagi-pagi sekitar jam 6 kami bertolak ke Morowali lewat jalur darat melintasi jalan trans Sulawesi. Kami mampir beberapa kali di jalan, di Palopo, Pare-pare, sampai akhirnya menginap di Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
Keesokan paginya kami melanjutkan perjalanan, menyeberangi Danau Matano, danau terdalam se-Asia Tenggara. Melewati berbukitan, hutan karet, hutan sawit, kampung Muslim yang sepanjang jalan dihias dengan Asmaul Husna, kampung Bali yang dipenuhi pura, kampung Kristen lengkap dengan gerejanya. Begitu beragam pemandangan sepanjang jalan, benar-benar menggambarkan toleransinya orang Indonesia.
Kami baru sampai di Morowali menjelang magrib. Luar biasa lelahnya. Menginap dua malam di Morowali dan mengulang perjalanan melelahkan kembali ke Makassar. Di perjalanan pulang, kami bahkan tidur di mobil dan kembali ke Jakarta tanpa mandi.
Kami baru sampai di Morowali menjelang magrib. Luar biasa lelahnya. Menginap dua malam di Morowali dan mengulang perjalanan melelahkan kembali ke Makassar. Di perjalanan pulang, kami bahkan tidur di mobil dan kembali ke Jakarta tanpa mandi.
Lelah tapi sungguh pengalaman luar biasa.
Ini kali pertama saya liputan untuk desk travel. Senang sih, tapi perlu belajar juga menulis gaya anak travel.
(Baca juga: Sensasi Jadi Putri Kerajaan di Hong Kong Disneyland)
Tapi jangan salah, namanya kerja ya enggak senang-senang saja. Kami sampai hotel sudah cukup malam sekitar jam 9 atau 10. Kami menginap di Disney’s Hollywood Hotel Hong Kong, hotel di kawasan Hong Kong Disneyland yang bertemakan Mickey Mouse. Bagi para pecinta tokoh kartun tikus Mickey, hotel ini merupakan surga.
(Baca juga: Menginap di ‘Rumah’ Mickey Mouse)
2. Hong Kong Disneyland (2012)
(Beberapa media yang diundang antara lain Detikcom, Kompascom, Metro TV, dan SCTV) |
Ini kali pertama saya liputan untuk desk travel. Senang sih, tapi perlu belajar juga menulis gaya anak travel.
Jadi beberapa media diundang oleh pihak Hong Kong Disneyland karena mereka mau launching wahana baru, Grizzly Gulch, semacam roller coaster tapi bisa maju, tiba-tiba mundur, berbelok tajam, dan berpapasan dengan kereta lain.
Nah, selain mencoba naik wahana baru itu, kami juga dipersilakan menjajal semua wahana ekstrem lain secara VIP tanpa antre. Seru? Seru banget. Dari pagi sampai malam main sepuasnya di Hong Kong Disneyland, dan ditutup dengan pertunjukkan kembang api di depan istana Putri Tidur.
(Baca juga: Merasakan Roller Coaster Gelap Gulita di Hong Kong Disneyland)Tapi jangan salah, namanya kerja ya enggak senang-senang saja. Kami sampai hotel sudah cukup malam sekitar jam 9 atau 10. Kami menginap di Disney’s Hollywood Hotel Hong Kong, hotel di kawasan Hong Kong Disneyland yang bertemakan Mickey Mouse. Bagi para pecinta tokoh kartun tikus Mickey, hotel ini merupakan surga.
Sesampainya di hotel saya langsung bebersih dan langsung menyalakan laptop. Karena ini pertama kalinya saya menulis untuk desk travel, jadi butuh waktu untuk beradaptasi menyesuaikan tulisan yang sesuai dengan gaya khas travel. Setelah menulis beberapa artikel, saya baru bisa merebahkan badan sekitar pukul 2 dini hari.
3. Bitobe, Nusa Tenggara Timur (2013)
(Salah satu sekolah di desa Bitobe, NTT) |
Dari Kupang, ibukota Nusa Tenggara Timur, kami harus berangkat sekitar jam 1 atau 2 dini hari. Ini agar sampai di Bitobe tepat saat matahari mulai terbit. Kami ingin melihat aktivitas warga mulai dari pagi hingga sore hari.
(Rumah bulat, rumah khas masyarakat Nusa Tenggara Timur) |
Yang masih saya ingat, warga Bitobe tinggal di rumah bulat, yang menurut saya sangat tidak sehat. Bagaimana tidak, rumah yang terbuat dari daun lontar ini tidak dilengkapi jendela, pintu hanya setinggi setengah meter, dan ada perapian di dalamnya yang membuat seisi rumah dipenuhi asap. 5 menit di dalamnya saja saya sudah tidak kuat. Tapi bagi mereka, rumah itulah yang melindunginya dari hawa dingin malam hari, juga serangan hewan liar.
Yang lebih miris, ibu baru melahirkan dan bayinya juga 'disekap' di dalam rumah bulat selama 40 hari, tanpa busana. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana mereka bisa bernapas di dalam ruangan penuh asap seperti itu. Sungguh saya menangis melihatnya.
4. Thailand dan Kamboja via Darat (2013)
(Salah satu spot foto di Madame Tussauds, Thailand) |
Ini pengalaman pertama saya liputan lintas negara lewat darat. Liputan intinya adalah di Thailand tentang wisata kesehatan. Jadi Thailand waktu itu lagi gencar mempromosikan rumah sakit yang menyediakan jasa operasi plastik. Nah, setelah operasi bisa sekalian jalan-jalan keliling Thailand. Intinya seperti itu.
(Baca juga: Rayakan HUT RI Bersama Soekarno di Bangkok)
Kenapa harus ke Kamboja? Pihak Thailand juga mempromosikan ke orang-orang Indonesia kalau mau ke Kamboja, mau ke Angkor Wat, bisa lho lewat Thailand saja terus disambung lewat darat. Katanya bisa lebih murah.
(Baca juga: Rumah Antik dengan Kisah Misterius di Bangkok)
(Perbatasan Thailand - Kamboja) |
Ini berkesan buat saya karena bisa sekalian jalan-jalan di dua negara. Bisa keliling Thailand dan Kamboja.
(Baca juga: Terpukau Cantiknya Ladyboy Penari Kabaret di Kamboja)
(Angkor Wat, Kamboja) |
5. Bangalore, India (2014)
5 hari liputan di India dan selama 5 hari pula mag saya kambuh. Saya benar-benar tidak cocok dengan makanan India, bahkan mencium aromanya saja membuat selera makan saya hilang.
(Halte bis di kota Chennai, India) |
Dan India tak seindah film Bollywood. Atau mungkin karena yang saya datangi hanya Bangalore dan Chennai ya, hanya bagian kecil dari India. Tapi sungguh, dari yang saya lihat, kedua kota itu jauh lebih kumuh daripada Jakarta. Dan aroma tubuh mereka, ya ampun makin bikin enggak nafsu makan. Ada seorang teman bahkan berkata, "Ganteng ayu tapi ambune reekkk." Hahaha. Mungkin harus dipikir ratusan kali kalau ada yang mengajak saya ke India lagi (siapa juga yang mau ngajak, Mer?)
Comments
Post a Comment