Skip to main content

Bayi Main ke Wakatobi



Umur Raina baru genap 11 bulan ketika siang itu ayahnya tiba-tiba mengirim pesan, "Mau ikut gathering ke Wakatobi nggak sayang?" Sejenak saya berpikir, Wakatobi pulau kan? Terpencil kan? Otomatis saya pun mencari tahu di Google bagaimana kondisi taman nasional yang katanya mendunia tersebut.

Cantik. Bawah lautnya luar biasa. Tapi jalan-jalan ke pulau bawa bayi? Di sana bayi bisa ngapain?

Memang, dari pengalaman sebelumnya, Raina sangat menyenangkan saat diajak jalan-jalan jauh. Pertama kali naik pesawat Cengkareng-Makassar (sebelumnya lewat darat Tegal-Cengkareng) saat umur 3 bulan. Tidak rewel sama sekali. Sampai umurnya 9 bulan, total sudah 9 kali naik pesawat ke lima provinsi. Saya memang sering mengajaknya ke luar kota ikut ayahnya dinas. Mau naik pesawat, kereta, bus, taksi, angkot, motor, Raina tidak pernah rewel.

Namun mendengar kata Wakatobi yang terpikir oleh saya: harus naik perahu, menyelam atau minimal snorkeling, ombak kencang, angin laut, jauh dari rumah sakit, nggak ada supermarket. Bagaimana kalau begini? Bagaimana kalau begitu? Emak-emak semua jadi pikiran.

Tapi mengingat kesempatan main ke Wakatobi jarang sekali ada, saya menjawab pesan suami dengan singkat. "Ikut."

Mulailah saya memutar otak memikirkan segala kebutuhan si bayi. Yang terpenting tentu soal makannya.

Lalu apa saja isi koper saya? Sejak Raina umur 6 bulan dan sudah MPASI, saya selalu membawa koper super besar tiap kali bepergian. Isi dua lemari mungkin bisa masuk. Hahaha. Maklum, saya penganut MPASI homemade garis keras.

Peralatan perang MPASI Raina harus dibawa ke mana-mana, mulai dari kompor listrik, cooler bag, talenan, pisau, sendok, garpu, sabun cuci piring, minyak zaitun, dan lainnya.

Kami berencana pergi selama lima hari. Saya bawa bahan makanan segar untuk tiga hari, sehari di Kendari dan dua hari di Wakatobi. Dua hari berikutnya saya sudah kembali ke Kendari dan bisa mencari bahan makanan segar di supermarket setempat.

Saya bawa daging ayam, hati, ikan, kacang polong, dan tomat. Untuk karbohidrat, Raina sudah bisa makan nasi biasa, tak perlu lagi ditim. Jadi bisalah comot nasi saya sedikit. Saya berpikir positif hotel dan resor tempat kami menginap menyediakan kulkas di kamar.

Soal pakaian dan popok sekali pakai, tinggal hitung saja kira-kira sehari butuh berapa kali ganti. Tak lupa keperluan mandi dan tidur si bayi. Pokoknya koper penuh dengan barang-barang Raina. Ayah bundanya nebeng saja. Hahaha.

Kami berangkat Selasa, 4 Oktober, dengan pesawat jam tujuh malam menuju Kendari. Menginap semalam di Grand Clarion Hotel Kendari. Syukurlah ada kulkas dengan freezer di kamar. Stok makanan Raina aman.

Subuh-subuh saya masak sop ayam untuk bekal makan Raina seharian. Saya menyimpannya di tempat makan tahan panas (lunch jar). Nasinya saya ambil dari restoran saat sarapan di hotel.

Pagi jam 9.35 kami bertolak menuju Wakatobi menggunakan pesawat ATR alias pesawat baling-baling. Ini pengalaman pertama Raina naik pesawat ATR, tapi pengalaman ke-11 menjajal moda transportasi udara. Alhamdulillah si bayi aman tenteram riang gembira.

45 Menit terbang kami sampai di Wakatobi. Matahari di sana terik sekali. Padahal belum juga tengah hari.

Mobil jemputan sudah menunggu. Kami menginap di Patuno Resort Wakatobi, persis di bibir pantai di Wangi-wangi. Jarak dari Bandara Matahora menuju resor lumayan jauh, ditempuh sekitar 30 menit naik mobil.

Pulau ini sepi, persis seperti bayangan saya. Rumah-rumah masih jarang. Setidaknya itu yang saya lihat di sepanjang perjalanan menuju resor.

Sesampainya di resor, kami langsung makan siang dan dipersilakan istirahat sebentar sebelum berangkat untuk snorkeling dan menyelam. Saat masuk kamar, yang pertama saya cari adalah kulkas. Dan ternyata tidak tersedia untuk kamar tipe standar.

Ya sudahlah, pasrah. Tidak enak juga kalau mau titip di dapur resor karena jarak kamar-restoran cukup jauh, sampai disediakan mobil untuk mengantar tamu ke kamar. Sisa bahan makanan Raina sementara masih bertahan di cooler bag. Saya cek ice gel di dalamnya masih keras.

Siang sekitar jam setengah tiga, kami berangkat menuju titik penyelaman. Cuaca cukup bagus, saya pun memberanikan diri mengajak Raina melaut naik perahu. Rencananya, saya bergantian dengan suami menjaga si bayi jika salah satu dari kami turun ke laut. Tapi ternyata banyak teman kantor suami yang berebut ingin menggendong Raina. Mereka tidak ingin main basah-basahan katanya. Raina pun anteng diajak main om-om dan tante-tante. Malah tidur nyenyak dikipas silir-silir angin laut.

Saya tidak bisa menyelam, jadi snorkeling pilihan terbaik. Tapi saya juga tidak berani lama-lama bermain air, takut Raina bangun dan minta ASI. Lagipula, sore itu arus laut Wakatobi cukup kuat. Snorkeling sebentar saja sudah terseret jauh dari perahu.

Alhamdulillah Raina riang gembira selama di perahu. Tidak menangis sama sekali. Pengalaman pertamanya naik perahu ternyata menyenangkan.





Namun karena teman-teman yang ingin menyelam cukup banyak, perahu kami kemalaman menepi. Celakanya, sang nahkoda belum pernah membawa perahu di malam hari.

Kami terjebak ombak, angin kencang, dan nyaris kandas karena lautan malam hari minim sekali cahaya. Raina langsung saya bawa ke bagian tengah perahu agar tidak terlalu banyak terkena angin. Badannya saya tutupi jaket dan handuk kering agar lebih hangat.

Setelah berjam-jam terombang-ambing, perahu kami akhirnya bisa mendarat dengan selamat. Dan lagi-lagi, Raina tidak rewel. Alhamdulillah.

Keesokan hari, agendanya tur lumba-lumba. Melaut harus pagi sekali karena mamalia itu senang bermain di permukaan sekitar pukul 6.

Saya dan suami memutuskan tidak ikut. Raina masih tidur dan badannya sedikit panas. Saya ukur suhunya 37 derajat Celsius. Tapi saya tidak terlalu cemas karena memang dia sedang tumbuh gigi. Suhu badannya sering naik turun.

Pagi-pagi saya masih sempat membuat sop hati ayam untuk bekal Raina. Tapi sisa bahan makanan terpaksa dibuang karena sudah tidak bisa lagi disimpan tanpa lemari pendingin.

Selesai sarapan saya mengajak Raina main pasir di pantai. Sepi sekali, serasa pantai milik pribadi. Saya pun tak melihat ada bule menginap di sana. Mungkin belum musimnya liburan.

Raina senang sekali main pasir bersama ayah. Ini pengalaman pertamanya. Awalnya memang dia tidak mau pegang pasir. Mungkin geli atau jijik. Tapi lama-lama penasaran juga dan mulai keasyikan. Mereka menggali lubang, mengubur kaki di pasir, mengumpulkan kerang dan karang kecil yang terbawa ombak sampai ke pantai.

Saya cukup menikmati pemandangan. Pasir di Wakatobi putih sekali. Juga ada karang bolong di dekat pantai. Cantik.




Sesi bermain pasir berakhir setelah Raina memasukkan pasir ke dalam mulutnya. Juga mengusap-usap wajah dan rambut dengan tangan penuh pasir. Asin ya, Nak? Hahaha.

Selesai main pasir, Raina dipangku ayah main ayunan di dekat lobby resor. Mukanya tegang waktu pertama kali diayun. Atau bisa jadi karena masih menahan rasa asin dari pasir yang masuk ke mulut. Raina tak terlalu bersemangat.

Siangnya kami bersiap kembali ke Kendari. Tapi sebagian masih ada yang tinggal di Wakatobi, tentu yang jago-jago menyelam.

Kami memang terbagi jadi dua rombongan, karena tiket pesawat ke Kendari untuk hari Jumat sudah habis. Alasan membawa bayi, saya dan suami pun ikut rombongan-pulang-duluan.

Hanya ada satu pesawat (bolak-balik) yang datang dan berangkat dari Bandara Matahora: Wings Air. Jadi kalau ketinggalan atau kehabisan tiket pesawat, siap-siap saja menambah bujet penginapan.

Tiba di Bandara Haluoleo Kendari dan lanjut makan siang. Kami baru sampai hotel hampir jam 4 sore. Tadinya saya ingin mengajak Raina berenang, tapi dia terlihat mengantuk. Jadilah kami bertiga hanya tidur (dan makan) di kamar sampai besok paginya.

Untuk makan hari Jumat, saya mengandalkan menu yang ada di restoran. Tentu harus yang hambar karena umur Raina belum setahun, tanpa garam dan gula. Pilihan terbaik adalah telur dadar. Untuk sayur dan protein nabati, saya ambil dari piring saji gado-gado.

Agak siang, sekitar pukul 10, saya mengajak Raina berenang di kolam renang hotel. Dasar Raina anak Pantura, senang sekali main air. Hehe. Tapi saya tidak membiarkannya lama-lama. Airnya agak dingin setelah bercampur air hujan. Takut dia masuk angin.




Hari Jumat dan Sabtu, ayah Raina ada agenda pekerjaan di Kendari, jadi tidak banyak acara jalan-jalannya. Paling hanya keliling kota sebentar mencari popok sekali pakai. Malam Minggunya kami isi dengan kondangan.

Kami kembali ke Makassar hari Minggu naik penerbangan pukul 7.45. Memilih pesawat pagi agar bisa beristirahat lebih lama di rumah. Sesampainya di rumah, Alhamdulillah Raina masih sehat, aktif, riang, dan gembira. Anak Bunda memang hebat!

Kalau ada kesempatan, Raina siap jalan-jalan lagi.


Comments

Popular posts from this blog

Berkunjung ke Kampung Pengembara Laut Suku Bajo Buton

Mencentang satu lagi destinasi yang sudah lama ada di bucketlist Pulau Buton: Kampung Suku Bajo. Suku Bajo dikenal sebagai pengembara laut ulung. Laut bagi mereka bukan hanya tempat mencari nafkah, tetapi juga rumah untuk tinggal. Mereka hidup di atas dan di bawah lautan. Mengapung dan menyelam di sana. Anak kecil hingga orang dewasa. Masyarakat Suku Bajo sering hidup berpindah-pindah. Mereka membuat perkampungan sendiri di atas karang dan mengapung di lautan, terpisah dari pemukiman warga di daratan. Di Indonesia, Suku Bajo bisa ditemui di perairan Kalimantan Timur (Berau, Bontang), Kalimantan Selatan (Kota Baru), Sulawesi Selatan (Selayar), Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur (Pulau Boleng, Seraya, Longos, Komodo), Sapeken, Sumenep, dan wilayah Indonesia timur lainnya. Saya beruntung bisa menyaksikan sendiri keseharian masyarakat Suku Bajo di Pulau Buton. Mereka membuat perkampungan di Desa Kondowa atau dikenal dengan Bajo Bahari, Kecamatan Wabula,

2,5 Tahun Menunggu Raina

Raina Nahda Fauzi.  Itulah nama yang saya dan suami berikan pada anak pertama kami. Bayi perempuan cantik yang kehadirannya sudah lama kami nantikan. Saya memang tak 'seberuntung' perempuan lain yang langsung hamil setelah sebulan, dua bulan, atau tiga bulan menikah. Raina lahir 31 Oktober 2015, dua setengah tahun setelah saya menikah. Di awal pernikahan, saya dan suami memang sepakat untuk menunda kehamilan. Alasannya karena kami masih sibuk mondar-mandir mencari rumah. Namun, di saat kami sudah punya rumah sendiri dan siap untuk memiliki momongan, kehamilan justru tak kunjung datang. Beberapa bulan saya mencoba hamil secara alami, hasilnya nihil. Saya dan suami pun memutuskan untuk mencari bantuan dokter. Kami sama-sama memeriksakan diri. Ternyata masalahnya ada di tubuh saya. Saya didiagnosa menderita polycystic ovary syndrome (PCOS) atau sindrom ovarium polikistik, yaitu gangguan hormonal yang umum di kalangan perempuan usia reproduksi. Perempuan dengan PCO

PCOS, Olahraga, dan Hamil Lagi

Saya hamil lagi. Rasanya tak percaya saat melihat hasil test pack pagi itu. Dua garis merah, satu tegas satu samar, tapi jelas menggambarkan hasilnya positif. Saya kaget, sungguh tak menyangka bakalan hamil lagi secepat ini. Saya penderita  polycystic ovary syndrome  (PCOS). Dulu saya harus terapi macam-macam dan minum obat ini itu untuk bisa hamil Raina. Juga butuh waktu lama dan biaya yang tidak sedikit. ( Baca juga: 2,5 Tahun Menunggu Raina ) Alhamdulillah hamil kali ini benar-benar rezeki tak terkira dari Allah. Saya hamil alami tanpa program apapun, tanpa minum obat apapun. Umur Raina juga sudah 2 tahun, jadi saya tidak punya hutang menyusui lagi. Allah Maha Baik. Pakai kontrasepsi? Semenjak Raina lahir hingga ulang tahun ke-2 saya selalu menggunakan kontrasepsi. Lho? Bukannya PCOS bakalan susah hamil? Iya, memang. Haid saya masih belum teratur bahkan setelah Raina lahir. Tapi tidak separah sebelum punya anak. Dan saya ingat pesan dokter kandungan