Skip to main content

'Mahmud Abas' yang Cengeng dan Galau



Semenjak hamil, ada banyak perubahan yang saya rasakan. Bukan soal perut membuncit atau lengan yang makin mirip samsak, tapi perubahan emosi. Saya jadi lebih cengeng, gampang menangis. Nonton FTV dengan cerita cemen saja saya bisa menangis tersedu-sedu. Sebelumnya tak pernah begitu.

Ah, pengaruh hormon. Nanti setelah melahirkan juga hilang. Pikir saya.

Memang benar. Setelah melahirkan saya tidak lagi menangis saat nonton FTV. Tapi 'kecengengan hamil' ternyata meninggalkan warisan. Saya semakin mudah menangis setelah menjadi seorang ibu.

Melihat anak sakit, nangis. Anak muntah-muntah karena belum bisa makan telur, nangis. Anak rewel habis imunisasi, nangis. Lelah begadang berhari-hari, nangis.

Anak begini nangis, anak begitu nangis. Duhduh...

Saya yang dulu (berusaha) tak menangis di depan orang berubah jadi wanita cengeng yang dikit-dikit mewek.

Menjadi ibu juga membuat saya tak pernah berhenti khawatir. Dari Raina lahir hingga sekarang umurnya 7 bulan lebih, entah sudah berapa ratus hal yang saya khawatirkan. Masalah sepele saja bila menyangkut anak bisa bikin saya stres-galau-berhari-hari.

"Kok anak saya begini? Duh ini wajar nggak ya? Anak saya belum bisa ini, belum bisa itu, normal nggak sih?" Pertanyaan-pertanyaan seperti itu hampir ada di otak saya tiap hari.

Sering saya berpikir, apa sih yang salah dengan otak saya? Dulu saya tak 'selemah' ini.

Ya, menangis dan galau dulu saya anggap hal lemah yang dilakukan seorang wanita.

Tapi sekarang sepertinya saya harus meralat anggapan itu. Karena saya tidak sendiri. Beberapa teman yang juga baru punya anak -- istilah bekennya Mahmud Abas (mamah muda anak baru satu) -- juga mengalami hal serupa.

Penasaran, saya pun berselancar di dunia maya. Setelah mengutak-atik kata kunci di Google, akhirnya saya menemukan jawaban dari mana datangnya cengeng dan galau si Mahmud Abas.

Ternyata menjadi seorang ibu benar-benar mengubah otak wanita.

Sebuah penelitian tahun 2010 yang dilakukan oleh para psikolog di Yale University, AS, menemukan bahwa ukuran gray matter (daerah abu-abu) di otak ibu meningkat sesaat setelah melahirkan. Perubahan tersebut terjadi di hipotalamus, amigdala, lobus parietal dan korteks prefrontal. Daerah ini bertanggung jawab untuk emosi, penalaran dan penilaian, perilaku indra dan penghargaan.

Menurut para peneliti, peningkatan hormon selama menyusui dan pascamelahirkan, seperti estrogen, oksitosin dan prolaktin, bisa menjadi penyebab terjadinya perubahan di otak ibu.

Jadi benar otak saya berubah.

Tapi meskipun saya jadi lebih cengeng dan sering galau, nyatanya saya merasa makin bahagia setelah menjadi ibu. Anak benar-benar jadi sumber kebahagiaan saya.

Dan lagi-lagi ini ada penjelasan ilmiahnya.

Penelitian tahun 2008 yang diterbitkan dalam jurnal Pediatrics, menemukan bahwa perilaku dan kebahagiaan seorang ibu dipengaruhi oleh sistem rasa senang di otak yang melibatkan daerah substantia nigra. Daerah ini menciptakan dopamin, zat kimia yang berinteraksi dengan sel-sel otak tertentu dan menyebabkan perasaan senang.

Menurut penelitian tersebut, ketika ibu melihat senyum di wajah mungil bayinya, sinyal reward atau penghargaan di otaknya menjadi aktif. Hal yang sama terjadi ketika seseorang mendapat suntikan kokain.

Jadi, kalau boleh saya simpulkan, menjadi seorang ibu seperti mendapat suntikan kokain alami secara terus-menerus. Rasa senangnya tidak habis-habis. Dan setelah otak menerima sinyal 'rasa senang', ibu akan berusaha mengulangi tindakan apapun yang memicu kebahagiaan.

Itulah sebabnya, walaupun capai begadang, mengurus bayi seharian, mudah menangis, sering stres dan galau, nyatanya menjadi ibu bisa membuat saya bahagia luar biasa. Dan meski lelah fisik dan pikiran, toh saya tetap ikhlas mengurus si kecil.

Saya sudah mencandu, semua rela dilakukan demi melihat senyum Raina yang menggemaskan.






Comments

Popular posts from this blog

Berkunjung ke Kampung Pengembara Laut Suku Bajo Buton

Mencentang satu lagi destinasi yang sudah lama ada di bucketlist Pulau Buton: Kampung Suku Bajo. Suku Bajo dikenal sebagai pengembara laut ulung. Laut bagi mereka bukan hanya tempat mencari nafkah, tetapi juga rumah untuk tinggal. Mereka hidup di atas dan di bawah lautan. Mengapung dan menyelam di sana. Anak kecil hingga orang dewasa. Masyarakat Suku Bajo sering hidup berpindah-pindah. Mereka membuat perkampungan sendiri di atas karang dan mengapung di lautan, terpisah dari pemukiman warga di daratan. Di Indonesia, Suku Bajo bisa ditemui di perairan Kalimantan Timur (Berau, Bontang), Kalimantan Selatan (Kota Baru), Sulawesi Selatan (Selayar), Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur (Pulau Boleng, Seraya, Longos, Komodo), Sapeken, Sumenep, dan wilayah Indonesia timur lainnya. Saya beruntung bisa menyaksikan sendiri keseharian masyarakat Suku Bajo di Pulau Buton. Mereka membuat perkampungan di Desa Kondowa atau dikenal dengan Bajo Bahari, Kecamatan Wabula,

2,5 Tahun Menunggu Raina

Raina Nahda Fauzi.  Itulah nama yang saya dan suami berikan pada anak pertama kami. Bayi perempuan cantik yang kehadirannya sudah lama kami nantikan. Saya memang tak 'seberuntung' perempuan lain yang langsung hamil setelah sebulan, dua bulan, atau tiga bulan menikah. Raina lahir 31 Oktober 2015, dua setengah tahun setelah saya menikah. Di awal pernikahan, saya dan suami memang sepakat untuk menunda kehamilan. Alasannya karena kami masih sibuk mondar-mandir mencari rumah. Namun, di saat kami sudah punya rumah sendiri dan siap untuk memiliki momongan, kehamilan justru tak kunjung datang. Beberapa bulan saya mencoba hamil secara alami, hasilnya nihil. Saya dan suami pun memutuskan untuk mencari bantuan dokter. Kami sama-sama memeriksakan diri. Ternyata masalahnya ada di tubuh saya. Saya didiagnosa menderita polycystic ovary syndrome (PCOS) atau sindrom ovarium polikistik, yaitu gangguan hormonal yang umum di kalangan perempuan usia reproduksi. Perempuan dengan PCO

PCOS, Olahraga, dan Hamil Lagi

Saya hamil lagi. Rasanya tak percaya saat melihat hasil test pack pagi itu. Dua garis merah, satu tegas satu samar, tapi jelas menggambarkan hasilnya positif. Saya kaget, sungguh tak menyangka bakalan hamil lagi secepat ini. Saya penderita  polycystic ovary syndrome  (PCOS). Dulu saya harus terapi macam-macam dan minum obat ini itu untuk bisa hamil Raina. Juga butuh waktu lama dan biaya yang tidak sedikit. ( Baca juga: 2,5 Tahun Menunggu Raina ) Alhamdulillah hamil kali ini benar-benar rezeki tak terkira dari Allah. Saya hamil alami tanpa program apapun, tanpa minum obat apapun. Umur Raina juga sudah 2 tahun, jadi saya tidak punya hutang menyusui lagi. Allah Maha Baik. Pakai kontrasepsi? Semenjak Raina lahir hingga ulang tahun ke-2 saya selalu menggunakan kontrasepsi. Lho? Bukannya PCOS bakalan susah hamil? Iya, memang. Haid saya masih belum teratur bahkan setelah Raina lahir. Tapi tidak separah sebelum punya anak. Dan saya ingat pesan dokter kandungan