Skip to main content

Ibu Rumah Tangga Sarjana



Setiap wanita berhak memilih bagaimana ia bisa bahagia. Dan saya memilih menjadi ibu rumah tangga, walau bergelar sarjana. Memilih mengurus dapur, walau sedang duduk di posisi redaktur.

Tidak sedikit yang mempertanyakan keputusan yang saya ambil. "Apa tidak sayang gelar sarjanamu?" "Ngapain kuliah susah susah kalau akhirnya cuma tinggal di rumah?" "Nggak takut nggak punya gaji?" Dan lainnya dan lainnya.

Sebelum menikah saya memang ingin sekali menjadi wanita karier. Dan buat gadis yang tidak bisa duduk diam, menjadi jurnalis tentu pilihan yang asyik. Tidak perlu seharian duduk di belakang meja menghadap monitor. Bisa keliling ibukota, Indonesia, atau bahkan dunia.

Tapi pekerjaan itu yang justru mengubah pola pikir awal saya.

Sebagai jurnalis kesehatan, saya sering meliput talkshow atau seminar umum tentang kesehatan dan pola asuh anak. Satu tema menarik yang kemudian mengubah mindset saya: 1000 hari pertama kehidupan.

1000 hari pertama kehidupan anak, sejak di dalam kandungan (9 bulan) hingga berumur 2 tahun, merupakan kunci untuk menentukan status gizi, kesehatan dan peluang masa depan anak sepanjang hidup.

Kalimat itulah yang telah mengubah cita-cita saya.

"Pokoknya saya mau mengurus anak sendiri di 1000 hari pertama kehidupannya."

Begitulah kira-kira.

Dan setelah menikah, ternyata saya perlu usaha ekstra untuk bisa punya anak. Butuh waktu yang cukup lama, juga biaya yang tidak bisa dibilang murah.

(Baca juga: 2,5 Tahun Menunggu Raina)

Setelah bersusah payah untuk bisa hamil dan punya anak, tentu saja makin menguatkan tekad saya untuk bisa merawat anak sendiri.

Dan tentu Tuhan tahu yang terbaik. Suami saya ditugaskan ke Makassar, yang artinya membuat saya harus tinggal berjauhan jika masih bersikeras menjadi wanita karier.

Dengan niat yang bulat, setelah bekerja hampir 6 tahun di media online terbesar di Tanah Air, dengan posisi yang cukup nyaman dan gaji lumayan, saya akhirnya memutuskan mundur. Saya memilih menjadi fulltime mom.

Ya, kalau diingat-ingat bagaimana susahnya mendapat gelar sarjana sains dari jurusan Fisika -- yang katanya pelajaran paling susah buat anak SMP SMA -- apalagi di salah satu kampus terbaik di Indonesia, saya memang sedikit gelo.

Kalau ingat bagaimana kerasnya saya belajar untuk mengubah nilai D menjadi sedikit lebih baik (hehehe) di mata kuliah Fisika Dasar, Fisika Kuantum, Matematika Fisika, Elektrodinamika, Mekanika, rasanya kok eman-eman.

Kalau ingat bagaimana saya harus begadang tiap malam untuk mengejar target lulus 4 tahun (saya termasuk 5 orang pertama di angkatan yang lulus tepat waktu) dengan IPK nyaris cumlaude, rasanya duh nggak rela.

Tapi tumbuh kembang anak saya tidak bisa diulang. Sel-sel otaknya tak bisa menunggu.

25 persen sel otak terbentuk saat janin, 70 persennya terbentuk saat usia 2 tahun, dan pembentukan selesai di usia 5 tahun.

Saya ingin memberikan yang terbaik di masa-masa emas pertumbuhan itu, lewat tangan saya sendiri.

Bagaimana saya bisa memberikan yang terbaik dari saya untuk memperkaya perusahaan, sementara anak saya hanya diurus oleh 'mbak' atau 'mbok' yang pendidikannya seadanya? 

Bagaimana saya kuat berangkat pagi buta (demi menembus kemacetan ibukota) ketika anak masih tidur dan pulang malam hari (karena jam kantor tidak pasti) ketika dia sudah kembali terlelap?

Bagaimana saya tega ber-haha-hihi di kantor sementara anak di rumah rewel karena demam, tumbuh gigi, atau sekadar ingin dipeluk manja oleh ibunya?

Di 1000 hari emasnya? Tidak, saya tidak bisa. Mungkin nanti, setelah lewat 2 tahun. Mungkin, jika saya tega.

Lantas bagaimana dengan keuangan keluarga? Alhamdulillah suami bisa memenuhi semua kebutuhan rumah, bahkan lebih. Alhamdulillah.

Tidak bosan seharian di rumah? Bagaimana saya bisa bosan bermain seharian dengan anak yang sedang tumbuh lucu-lucunya? 24 jam takjub melihat perkembangannya. Menjadi orang yang pertama kali melihat dia tersenyum, terpingkal-pingkal, tengkurap, duduk, berjalan, berlari, menyuapinya makan.

Saya bahagia? Tentu. Ini momen terbaik dalam hidup saya. Menjadi seorang ibu dan bisa setiap saat melihat perkembangan buah hati itu luar biasa.

Dan ya, saya memilih untuk menjadi ibu rumah tangga bergelar sarjana. Saya bahagia menjalaninya.

Tapi tentu saya sangat menghargai ibu yang memilih menjadi wanita karier. Pasti tidak mudah. Kalian semua hebat. Salute!




Wanita punya jalan masing-masing untuk bahagia. Mari saling menghormati.




Comments

Popular posts from this blog

Berkunjung ke Kampung Pengembara Laut Suku Bajo Buton

Mencentang satu lagi destinasi yang sudah lama ada di bucketlist Pulau Buton: Kampung Suku Bajo. Suku Bajo dikenal sebagai pengembara laut ulung. Laut bagi mereka bukan hanya tempat mencari nafkah, tetapi juga rumah untuk tinggal. Mereka hidup di atas dan di bawah lautan. Mengapung dan menyelam di sana. Anak kecil hingga orang dewasa. Masyarakat Suku Bajo sering hidup berpindah-pindah. Mereka membuat perkampungan sendiri di atas karang dan mengapung di lautan, terpisah dari pemukiman warga di daratan. Di Indonesia, Suku Bajo bisa ditemui di perairan Kalimantan Timur (Berau, Bontang), Kalimantan Selatan (Kota Baru), Sulawesi Selatan (Selayar), Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur (Pulau Boleng, Seraya, Longos, Komodo), Sapeken, Sumenep, dan wilayah Indonesia timur lainnya. Saya beruntung bisa menyaksikan sendiri keseharian masyarakat Suku Bajo di Pulau Buton. Mereka membuat perkampungan di Desa Kondowa atau dikenal dengan Bajo Bahari, Kecamatan Wabula,

2,5 Tahun Menunggu Raina

Raina Nahda Fauzi.  Itulah nama yang saya dan suami berikan pada anak pertama kami. Bayi perempuan cantik yang kehadirannya sudah lama kami nantikan. Saya memang tak 'seberuntung' perempuan lain yang langsung hamil setelah sebulan, dua bulan, atau tiga bulan menikah. Raina lahir 31 Oktober 2015, dua setengah tahun setelah saya menikah. Di awal pernikahan, saya dan suami memang sepakat untuk menunda kehamilan. Alasannya karena kami masih sibuk mondar-mandir mencari rumah. Namun, di saat kami sudah punya rumah sendiri dan siap untuk memiliki momongan, kehamilan justru tak kunjung datang. Beberapa bulan saya mencoba hamil secara alami, hasilnya nihil. Saya dan suami pun memutuskan untuk mencari bantuan dokter. Kami sama-sama memeriksakan diri. Ternyata masalahnya ada di tubuh saya. Saya didiagnosa menderita polycystic ovary syndrome (PCOS) atau sindrom ovarium polikistik, yaitu gangguan hormonal yang umum di kalangan perempuan usia reproduksi. Perempuan dengan PCO

PCOS, Olahraga, dan Hamil Lagi

Saya hamil lagi. Rasanya tak percaya saat melihat hasil test pack pagi itu. Dua garis merah, satu tegas satu samar, tapi jelas menggambarkan hasilnya positif. Saya kaget, sungguh tak menyangka bakalan hamil lagi secepat ini. Saya penderita  polycystic ovary syndrome  (PCOS). Dulu saya harus terapi macam-macam dan minum obat ini itu untuk bisa hamil Raina. Juga butuh waktu lama dan biaya yang tidak sedikit. ( Baca juga: 2,5 Tahun Menunggu Raina ) Alhamdulillah hamil kali ini benar-benar rezeki tak terkira dari Allah. Saya hamil alami tanpa program apapun, tanpa minum obat apapun. Umur Raina juga sudah 2 tahun, jadi saya tidak punya hutang menyusui lagi. Allah Maha Baik. Pakai kontrasepsi? Semenjak Raina lahir hingga ulang tahun ke-2 saya selalu menggunakan kontrasepsi. Lho? Bukannya PCOS bakalan susah hamil? Iya, memang. Haid saya masih belum teratur bahkan setelah Raina lahir. Tapi tidak separah sebelum punya anak. Dan saya ingat pesan dokter kandungan