Awan hitam menggelayuti langit Baubau pagi itu. Alam sepertinya kurang bersahabat tapi tak mengurangi niat kami mengeksplor Pulau Muna, pulau kecil di seberang Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Ini adalah perjalanan terakhir kami sebelum pindah ke Makassar.
Dari Baubau kami harus menyeberangi Selat Buton dengan feri sekitar 1 jam. Gerimis mulai turun saat mobil menaiki kapal. Ombak tak terlalu besar, cukup tenang untuk membuat anak-anak takjub melihat pemandangan laut yang diguyur hujan.
Setelah kapal bersandar di Pelabuhan Waara, tujuan pertama kami adalah Pantai Katembe. Dari ujung pulau kami harus menempuh perjalanan sekitar 2 jam, dengan rinai masih setia menemani.
Pantai Katembe sangat sepi hari itu. Tak ada satu pun manusia di sepanjang bibir pantai. Yang terlihat hanya barisan pohon kelapa yang berjajar rapi, juga hamparan rumput hijau persis di sebelah pasir pantai nan putih.
Pantai Katembe, berada di Desa Madongka, Kecamatan Lakudo, Kabupaten Buton Tengah. Menurut bahasa lokal, katembe artinya air tawar. Nama itu merujuk pada sebuah sumur air tawar dekat pantai. Ya, tawar. Air di sumur itu tak terasa asin atau payau meski jaraknya hanya sekitar 30 meter dari bibir pantai.
Sumur ini satu-satunya sumur yang ada di Pantai Katembe. Konon, sumur ini sudah ada sejak puluhan tahun lalu. Tak ada sumber pasti yang menjelaskan kapan sumur ini digali. Bagi warga setempat, ini adalah sumber air bersih.
Yang juga menarik, pantai di Buton Tengah ini sering dilintasi kawanan mamalia laut duyung atau dugong. Sayang, kami sedang tak beruntung untuk menyaksikannya langsung.
Keberadaan duyung sudah jadi hal lumrah bagi masyarakat setempat. Hewan langka ini juga dihormati oleh para nelayan Buton.
Menurut cerita rakyat yang diriwayatkan turun-temurun, duyung dipercaya sebagai jelmaan seorang ibu yang dikenal dengan nama Wa Ndiu-ndiu. 'Wa' merupakan panggilan untuk perempuan dalam bahasa Buton, sedangkan 'Diu' berarti duyung.
Dikisahkan, hiduplah seorang janda dengan dua anak lelakinya bernama La Nturungkoleo dan La Mbata-mbata. Mereka hidup miskin tapi sang ibu sangat menyayangi kedua anaknya. Suatu hari, mereka tak punya apa-apa untuk dimakan. Kedua anak yang masih kecil itu terus merengek pada ibunya minta dimasakkan ikan. Karena tak ada suami atau saudara yang bisa dimintai tolong, wanita itu pun melaut sendiri. Tapi hingga berhari-hari kemudian si ibu tak pernah kembali. Konon, sang ibu sudah menjelma menjadi duyung.
Comments
Post a Comment