Skip to main content

Bahaya Makan di Restoran Saat Pandemi Covid-19

Ilustrasi (Getty Image)
Ilustrasi (Getty Images) 


Beberapa hari lalu saya murka mengetahui orang terdekat saya makan di restoran bersama teman-temannya. Saya marah, sangat sangat marah. Yang dilakukannya fatal dan bisa membahayakan orang-orang dalam 'quarantine bubble'-nya.

Mengapa makan di restoran dengan orang di luar lingkaran karantina Anda bisa sangat berbahaya?

Dengan latar pendidikan sains dan pernah bertahun-tahun bekerja sebagai jurnalis kesehatan, saya tidak akan omong kosong. Mari kita lihat data dan hasil penelitian para ahli di dunia.

Belum banyak penelitian soal SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19. Yang kita tahu dari penelitian WHO, virus ini menyebar ketika orang berada dalam kontak dekat. Droplet atau tetesan pernapasan yang dikeluarkan ketika orang yang terinfeksi batuk atau bersin adalah mekanisme yang paling umum untuk transmisi virus. Tetesan ini tidak bisa melakukan perjalanan lebih dari 6 kaki atau 1,8 meter dari orang yang terinfeksi. Itu sebabnya diberlakukan aturan physical distancing dengan jarak 1-2 meter.

Namun menurut hasil penelitian baru yang dipublikasikan the Proceedings of the National Academy of Sciences, seperti dilansir New York Times, ada juga bukti bahwa virus dapat menyebar melalui tetesan kecil yang dihasilkan selama aktivitas normal, seperti berbicara dan tertawa. Tetesan kecil ini dapat tetap tersuspensi di udara hingga 14 menit. Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan bahwa virus korona bisa menjadi aerosol yang dapat melakukan perjalanan melalui udara.

Saat makan, masker dan face shield sebagai alat perlindungan diri tentu saja harus dilepas. Dengan makan (sambil ngobrol dan tertawa) semeja dengan orang lain yang jaraknya tidak sampai semeter, aerosol itu bisa saja masuk melalui hidung, mulut, mata dan sistem pernapasan tanpa kita sadari.

Makan satu meja bersama dengan orang di luar lingkaran karantina sangat berisiko. Tak ada jaminan seseorang bebas dari virus korona sebelum ia melakukan swab test, termasuk teman-teman kita sendiri.

Rapid test? Dengan berpatok pada antibodi dalam darah, akurasinya masih dipertanyakan. Seringkali rapid test memberi hasil positif palsu dan negatif palsu. Artinya, orang yang non reaktif belum tentu benar-benar bebas Covid-19, dan sebaliknya. Bahayanya akan semakin besar bila tempat tinggal Anda termasuk dalam zona merah, yang sebagian besar masyarakatnya bebal dan tidak acuh dengan himbauan protokol kesehatan.

Lalu bagaimana dengan meja, kursi dan alat makan yang digunakan di restoran? Adakah jaminan semuanya bebas virus?

Yang kita hadapi adalah SARS-CoV-2, virus yang ukurannya bahkan hanya 120 nanometer (NM). NM setara dengan sepermiliar meter, sangat sangat kecil. Anda merasa aman melihat pramusaji restoran mengenakan sarung tangan? Bahkan dengan sarung tangan yang sama bisa saja dia juga memegang gagang pintu, meja, kursi, dan alat makan yang terkontaminasi, yang kemudian juga bisa menempel pada meja, kursi dan alat makan yang Anda gunakan.

Masih merasa aman makan di restoran semeja dengan orang lain?

Saya parnoan dan lebay? Ya, saya memang begitu. Pandemi Covid-19 membuat alarm kekhawatiran saya naik berpuluh-puluh kali lipat. Apalagi saya seorang ibu. Saya lebih memilih menjadi orang yang parnoan dan lebay, ketimbang abai dan menyesal di kemudian hari karena tidak bisa melakukan usaha maksimal untuk melindungi orang-orang yang paling saya sayangi: keluarga, suami, dan anak-anak.

Comments

Popular posts from this blog

Berkunjung ke Kampung Pengembara Laut Suku Bajo Buton

Mencentang satu lagi destinasi yang sudah lama ada di bucketlist Pulau Buton: Kampung Suku Bajo. Suku Bajo dikenal sebagai pengembara laut ulung. Laut bagi mereka bukan hanya tempat mencari nafkah, tetapi juga rumah untuk tinggal. Mereka hidup di atas dan di bawah lautan. Mengapung dan menyelam di sana. Anak kecil hingga orang dewasa. Masyarakat Suku Bajo sering hidup berpindah-pindah. Mereka membuat perkampungan sendiri di atas karang dan mengapung di lautan, terpisah dari pemukiman warga di daratan. Di Indonesia, Suku Bajo bisa ditemui di perairan Kalimantan Timur (Berau, Bontang), Kalimantan Selatan (Kota Baru), Sulawesi Selatan (Selayar), Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur (Pulau Boleng, Seraya, Longos, Komodo), Sapeken, Sumenep, dan wilayah Indonesia timur lainnya. Saya beruntung bisa menyaksikan sendiri keseharian masyarakat Suku Bajo di Pulau Buton. Mereka membuat perkampungan di Desa Kondowa atau dikenal dengan Bajo Bahari, Kecamatan Wabula,

Janinku Terancam karena Rumput Fatimah

Rumput Fatimah (Ilustrasi: Panoramio) Kamu pernah dengar tentang Rumput Fatimah? Tanaman tersebut cukup masyhur di Indonesia, tapi saya termasuk sebagian orang yang sama sekali tidak tahu-menahu soal Rumput Fatimah, hingga akhirnya saya melihat dan mengonsumsinya sendiri. Dirangkum dari berbagai sumber, tanaman dengan nama latin Anastatica hierochuntica L ini banyak ditemukan di Timur Tengah dan Gurun Sahara. Di negara asalnya, tanaman ini dikenal dengan nama Kaff Maryam yang artinya telapak kaki maryam. Sementara orang-orang Barat menyebutnya dengan Rose of Jericho. Jika mengetik 'rumput fatimah' di mesin pencari Google, akan muncul berbagai artikel yang menjelaskan apa itu Rumput Fatimah. Semuanya berhubungan dengan ibu hamil dan persalinan. Rumput Fatimah dikenal sebagai perangsang persalinan. Orang-orang dulu sangat percaya tanaman yang banyak tumbuh di daerah kering dan padang pasir tersebut bisa mempercepat kontraksi yang pada akhirnya mempercepat pers

Wajarkah Bayi Mencakar Wajah Sendiri?

Raina suka sekali mengusap-usap wajah saat ngantuk. Juga menggaruk-garuk kepalanya saat sedang menyusu. Tapi yang saya khawatirkan, dia suka mencakar wajahnya sendiri saat tidur, terutama malam hari. Sampai-sampai di jidat, hidung, dan pipinya sering ada bekas luka cakaran. Sebenarnya wajar nggak sih bayi suka mencakar wajahnya sendiri? Sebagai mantan jurnalis kesehatan, emaknya penasaran dong (mantan jurnalisnya nggak penting sih hehe). Saya kemudian mencoba mencari referensi sendiri, tentu harus akurat dan dari sumber terpercaya. Kemudian saya menemukan jawabannya di situs Babycenter. Kebetulan dulu saya juga sering menjadikan situs tersebut sebagai acuan menulis artikel. Dari situs itu, saya mendapat informasi bahwa kebiasaan bayi mencakar wajahnya tergolong normal. Menurut David Geller, dokter spesialis anak dari Bedford, Massachusetts, AS, bayi ( newborn dan infant ) memiliki sedikit kontrol terhadap tangannya. Pada tahap ini umum bagi mereka untuk sengaja menggaruk