Skip to main content

Cerita Bahagia dari Kami Pejuang PCOS



"Mbak saya juga PCOS. Sudah 2 tahun nikah belum juga hamil."

"Saya sudah 6 tahun menikah, sudah minum obat ini itu tapi belum ada tanda-tanda hamil."

"Saya diresepin metformin mbak, tapi nggak kuat. Mual, lemes, jerawatan."

"Rasanya capek mbak bolak-balik ke dokter, minum obat macam-macam tapi nggak hamil juga. Saya down."

Curhatan semacam ini banyak masuk ke direct message instagram saya @merrywahyu. Saya bisa merasakan sedihnya.

Saya penderita Polycystic ovary syndrome (PCOS). Saya dulu juga berjuang untuk mendapatkan momongan. Saya dulu juga stres mendapat pertanyaan: Belum isi ya? Kok belum hamil? Jangan ditunda terus keburu tua.

Saya dulu juga lelah bolak-balik setor muka ke dokter kandungan tiap datang bulan. Saya dulu juga jenuh minum obat hormon tiap hari yang efeknya bikin lemas, mual, dan jerawatan.

Tapi saya menolak untuk menyerah.


PCOS bukan berarti vonis mandul. Saya penderita PCOS dan sekarang jadi ibu dari dua orang anak.


Saya pun tidak sendiri. Beberapa orang terdekat juga menderita PCOS dan sekarang sudah menjadi seorang ibu. Kami pernah berjuang di jalan yang sama dan kini dengan senang hati berbagi cerita bahagia.

---

Adalah Rizki Amelia, seorang sahabat yang juga pejuang PCOS. Mimi, sapaan akrabnya, diberi waktu 5 tahun oleh Allah untuk menikmati masa 'pacaran halal' berduaan saja dengan suami.

Setelah satu tahun menjalani long distance marriage (LDM), Mimi hamil secara alami di tahun kedua pernikahan. Tapi janinnya hanya bertahan 8 minggu. Belakangan dia tahu penyebabnya adalah ketidakstabilan hormon akibat PCOS.

Dokter lantas meresepkan metformin dan inlacin, tapi tubuhnya tidak kuat. Mimi merasa mual, lemas, dan pusing. Ia lantas mencari second opinion. Dokter lain memintanya untuk cek hormon, hasilnya normal. "Menurut dokter ini, pantas saja badanku nolak karena hormonnya normal. Terus disuruh diet dan olahraga. Aku harus turun 15 kg," kata Mimi.

Selama program penurunan berat badan, Mimi setop ke dokter kurang lebih setahun. Dia mengaku minum obat herbal, tapi hanya 3 bulan karena bikin ketagihan.

Usahanya sukses, tubuh Mimi sudah makin langsing.  Ia pun kembali setor muka ke dokter kandungan. Sayangnya, sel telurnya masih kecil-kecil. Mustahil hamil kata dokter. Satu-satunya cara adalah laparoscopic ovarian drilling (LOD) alias operasi.

"Karena ada banyak halangan, akhirnya nggak jadi operasi. Aku ya takut operasi," katanya.

Merasa lelah ketemu dokter, ia pun memutuskan cuti program hamil. Mau menikmati hidup, katanya. Dia pergi jalan-jalan bersama suami, honeymoon. Namun cuti ke dokter bukan berarti ia berhenti usaha. Selama masa rehat itu dia rutin minum jus 3 diva: wortel apel, dan tomat. Dengan takaran wortel 70 persen + apel 20 persen + tomat 10 persen.

"3 atau 4 bulan minum itu Alhamdulillah hamil," katanya.

Perjuangan panjang Mimi terbayar manis dengan hadirnya gadis salihah yang ia beri nama Hafshah (2 tahun).

---

Pejuang PCOS lainnya adalah Tien Ekasari Latief. Perempuan asal Kendari ini memutuskan untuk program hamil (promil) setelah dua bulan menikah. Ia buru-buru promil karena memang semenjak duduk di bangku kuliah sudah curiga dengan gejala PCOS. Benar saja, setelah menikah dokter memastikan diagnosis PCOS.

Promilnya dimulai dengan obat KB dan vitamin E selama tiga bulan. Karena belum ada hasil, dokter mulai memberikan glucophage (obat diabetes untuk mengontrol insulin), obat pemancing haid (karena haid tidak teratur), dan obat pembesar sel telur (oral). Namun, karena obat diabetes berefek lemas, mual dan pusing, terapi ini pun hanya bertahan dua bulan.

Di lima bulan berikutnya obat-obatan yang rutin dikonsumsi adalah obat pemancing haid, pembesar sel telur (oral) dan vitamin E. 

Belum juga hamil, Tien pun diminta terapi suntikan hormon gonal F 300 IU (suntikan di perut selama 4 hari berturut-turut setelah haid). 

Selain itu, ia juga mencoba terapi non medis. Ia mendapat saran untuk mengonsumsi putih telur ayam kampung satu rak (30 butir) setiap hari, dikonsumsi pada hari ke-10 hingga 17 dihitung sejak hari pertama haid. Ia dan suami juga mencoba jus 3 diva, kurma muda, dan rajin berolahraga.

Selama tiga bulan menjalani rangkaian terapi tersebut, ada secercah harapan. Dua sel telurnya berhasil mencapai ukuran 20 mm, yang artinya siap dibuahi. Dokter pun memberi dua opsi: inseminasi atau berhubungan badan secara alami.

"Qadarullah suami yang awalnya setuju inseminasi berubah pikiran memilih hubungan alami saja," kata Tien.

Dokter akhirnya menjadwalkan kapan waktu untuk berhubungan badan. Tien juga diharuskan untuk mendapatkan suntikan pemecah sel telur dan konsultasi setiap 2 hari sekali selama masa subur. Kemudian istirahat 2 minggu sembari menunggu hasil dan tidak diperbolehkan melakukan pekerjaan yang berat.

Sayangnya, usaha tersebut belum berhasil. Hasil testpack masih negatif.

Ia pun akhirnya pasrah dan memutuskan rehat sejenak dari terapi medis. Di saat itu, dia benar-benar menikmati hidup tanpa ada beban hamil. Namun, ia tetap menjalani pola hidup sehat dengan minum jus 3 diva, rajin berolahraga, konsumsi kurma muda, rebusan air buah zuriat, dan suami makan semangka setengah biji per hari selama istri masa subur.

"Alhamdulillah bulan berikutnya hamil. Padahal sel telurnya juga belum sampai di ukuran yang seharusnya, Qadarullah ya mbak," kata Tien.

13 bulan perjuangan Tien yang luar biasa akhirnya bisa membawa kabar bahagia. Kini Tien sudah menjadi ibu dari si cantik Rumaisha (5 bulan).

---

Perjuangan mendapatkan anak juga dilakoni Citra Ayunda Alfiza Hasibuan. Citra, begitu ia disapa, memang sudah diminta untuk jaga pola makan dan olahraga sejak gadis karena siklus haidnya tidak pernah lancar. Enam bulan setelah menikah baru diagnosis PCOS ia dapatkan.

Setelah menemukan dokter kandungan yang cocok promil pun dimulai. Perempuan berdarah Medan ini harus mengonsumsi beberapa obat untuk mengontrol kadar insulin dan hormon di tubuhnya. Sayang, baru tiga bulan promil terapinya mau tak mau berhenti karena sang suami harus operasi tulang belakang. Promil pun vakum kurang lebih 6 bulan.

Pasca pemulihan kesehatan suami, Citra pun kembali rutin promil. Saat itu, suaminya juga diminta untuk cek kondisi sperma. Ternyata belakangan baru diketahui bahwa sang suami mengalami teratozoospermia, yaitu kelainan morfologi (bentuk dan ukuran) sperma. "Lajunya cepat, volumenya bagus, kekurangannya hanya di bentuk. Bentuknya kayak monster gitu, tidak sempurna," kata Citra menjelaskan.

Suami Citra harus terapi antioksidan. Selama sebulan konsumsi kapsul antioksidan, kondisi spermanya sudah menunjukkan hasil yang bagus. Bulan kedua terapi antioksidan masih berlanjut, ditambah juga dengan konsumsi asam folat. Citra juga mengaku ikut-ikutan konsumsi antioksidan dengan inisiatif sendiri.

"Pintar-pintar Citra aja minum antioksidan, karena kan suami merokok. Toh, itu juga bisa dikonsumsi orang normal asal dosisnya nggak berlebihan. Citra minum setengah dari dosis suami," katanya.

Selama promil, berat badan Citra yang semula 45 kg melonjak tajam hingga 59 kg. Jerawat pun tumbuh subur karena efek obat hormon.

Kondisi ini membuat Citra stres. Ia juga mengaku sempat down saat mengetahui bahwa teman dekatnya sudah hamil duluan. Beruntung, ia mendapat dukungan penuh dari suami.

"Suamiku bilang, hal-hal kayak gitu yang bikin susah hamil. Ikhlas aja. Yang harusnya beban itu aku karena di kantor teman-teman sudah punya anak semua," kata Citra.

Citra pun akhirnya pasrah. Ia mengaku ikhlas dan benar-benar menikmati hubungannya dengan suami, tanpa terbebani harus buru-buru hamil. Di saat itulah Allah mempercayakan janin di rahimnya setelah hampir 2 tahun berusaha.

"Citra ingat momennya itu, yang awalnya kesal ditanya kenapa belum hamil, hormon yang betul-betul kayak rooler coaster, pokoknya kacau balau. Dari marah, gedek, Citra sampai maki-maki orang, sampai akhirnya Citra di titik ikhlas. Benar-benar ikhlas," katanya menambahkan.

Menurut Citra, psikis yang sehat sangat besar pengaruhnya dalam keberhasilan program hamil. Kini, Citra sudah menjadi seorang ibu tangguh dari si kecil yang luar biasa bernama Rayyan (3 tahun).

---

Saya, Mimi, Tien, dan Citra sama-sama pejuang PCOS. Kami pernah berusaha habis-habisan untuk memperoleh keturunan. Segala cara dicoba, medis dan non medis, untuk mengendalikan insulin dan hormon di tubuh.

Kami juga pernah berada di titik nadir, tapi kami tidak menyerah. Kami berjuang untuk menormalkan sistem reproduksi. Selanjutnya, kami pasrah. Ikhlas. Tanpa beban.

Kondisi psikis juga kami perbaiki. Agar tidak stres, agar hubungan dengan suami semakin baik, agar kami siap ketika Allah menitipkan amanah-Nya.

Semangat terus teman-teman pejuang PCOS!


Comments

Popular posts from this blog

Berkunjung ke Kampung Pengembara Laut Suku Bajo Buton

Mencentang satu lagi destinasi yang sudah lama ada di bucketlist Pulau Buton: Kampung Suku Bajo. Suku Bajo dikenal sebagai pengembara laut ulung. Laut bagi mereka bukan hanya tempat mencari nafkah, tetapi juga rumah untuk tinggal. Mereka hidup di atas dan di bawah lautan. Mengapung dan menyelam di sana. Anak kecil hingga orang dewasa. Masyarakat Suku Bajo sering hidup berpindah-pindah. Mereka membuat perkampungan sendiri di atas karang dan mengapung di lautan, terpisah dari pemukiman warga di daratan. Di Indonesia, Suku Bajo bisa ditemui di perairan Kalimantan Timur (Berau, Bontang), Kalimantan Selatan (Kota Baru), Sulawesi Selatan (Selayar), Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur (Pulau Boleng, Seraya, Longos, Komodo), Sapeken, Sumenep, dan wilayah Indonesia timur lainnya. Saya beruntung bisa menyaksikan sendiri keseharian masyarakat Suku Bajo di Pulau Buton. Mereka membuat perkampungan di Desa Kondowa atau dikenal dengan Bajo Bahari, Kecamatan Wabula,

2,5 Tahun Menunggu Raina

Raina Nahda Fauzi.  Itulah nama yang saya dan suami berikan pada anak pertama kami. Bayi perempuan cantik yang kehadirannya sudah lama kami nantikan. Saya memang tak 'seberuntung' perempuan lain yang langsung hamil setelah sebulan, dua bulan, atau tiga bulan menikah. Raina lahir 31 Oktober 2015, dua setengah tahun setelah saya menikah. Di awal pernikahan, saya dan suami memang sepakat untuk menunda kehamilan. Alasannya karena kami masih sibuk mondar-mandir mencari rumah. Namun, di saat kami sudah punya rumah sendiri dan siap untuk memiliki momongan, kehamilan justru tak kunjung datang. Beberapa bulan saya mencoba hamil secara alami, hasilnya nihil. Saya dan suami pun memutuskan untuk mencari bantuan dokter. Kami sama-sama memeriksakan diri. Ternyata masalahnya ada di tubuh saya. Saya didiagnosa menderita polycystic ovary syndrome (PCOS) atau sindrom ovarium polikistik, yaitu gangguan hormonal yang umum di kalangan perempuan usia reproduksi. Perempuan dengan PCO

PCOS, Olahraga, dan Hamil Lagi

Saya hamil lagi. Rasanya tak percaya saat melihat hasil test pack pagi itu. Dua garis merah, satu tegas satu samar, tapi jelas menggambarkan hasilnya positif. Saya kaget, sungguh tak menyangka bakalan hamil lagi secepat ini. Saya penderita  polycystic ovary syndrome  (PCOS). Dulu saya harus terapi macam-macam dan minum obat ini itu untuk bisa hamil Raina. Juga butuh waktu lama dan biaya yang tidak sedikit. ( Baca juga: 2,5 Tahun Menunggu Raina ) Alhamdulillah hamil kali ini benar-benar rezeki tak terkira dari Allah. Saya hamil alami tanpa program apapun, tanpa minum obat apapun. Umur Raina juga sudah 2 tahun, jadi saya tidak punya hutang menyusui lagi. Allah Maha Baik. Pakai kontrasepsi? Semenjak Raina lahir hingga ulang tahun ke-2 saya selalu menggunakan kontrasepsi. Lho? Bukannya PCOS bakalan susah hamil? Iya, memang. Haid saya masih belum teratur bahkan setelah Raina lahir. Tapi tidak separah sebelum punya anak. Dan saya ingat pesan dokter kandungan