Akhir pekan lalu saya, suami dan Raina liburan singkat ke Pantai Bara, pantai cantik di ujung selatan Sulawesi. Pantai berpasir putih yang terletak di Bulukumba ini berjarak 193 km dari Makassar, bisa ditempuh sekitar 5 jam melalui perjalanan darat.
Sebenarnya di Bulukumba yang menjadi primadona adalah Tanjung Bira. Tapi kami lebih memilih Bara karena lebih sepi meski jaraknya lebih jauh dari Bira, pun jalan menuju ke lokasi tidak terlalu mulus. Karena niatnya memang mau liburan dengan mengajak batita jadi saya dan suami memilih pantai yang lebih tenang.
Kami berangkat dari Makassar Sabtu sekitar pukul 11. Terlalu siang memang, tapi kami harus menunggu sampai asisten rumah tangga menyelesaikan tugasnya dulu.
Sebelum berangkat, paginya suami sudah mengisi bahan bakar mobil, juga persiapan kendaraan lainnya. Kemudian mampir ke rumah makan Padang untuk membeli bekal makan siang. Saya sengaja bawa bekal karena belum tahu tempat makan yang bersih dan enak di sepanjang jalan. Selain itu, juga bisa hemat waktu.
Sampai di Kawasan Wisata Tanjung Bira sekitar jam 4 sore, dilanjut ke Bara yang jaraknya masih 5 km dan harus melewati hutan. Sebenarnya jalan menuju Bara sudah cukup bagus, tapi karena kami menginap di Bara Beach Bungalows yang terletak paling ujung, kami harus melewati jalanan berbatu yang cukup panjang. Sampai di penginapan sekitar pukul setengah 5.
Saya memilih menginap di Bara Beach Bungalows karena beberapa alasan. Pertama, letaknya di Pantai Bara. Kedua, kamarnya ber-AC. Dan ketiga, pantai pasir putih terhampar persis di depan hotel. Tadinya saya tertarik dengan Cosmos Bungalows, karena desain kamarnya unik dan harganya lebih murah. Sayangnya, penginapan ini tidak memiliki pendingin ruangan. Jadi untuk Raina yang kulitnya sensitif dan alergi keringat, kami cari aman saja.
Begitu sampai hotel, Raina sudah kegirangan minta main pasir dan berenang di pantai. Hebohnya dari malam sebelumnya malah. Di sepanjang jalan pun dia enggak berhenti ngoceh mau main pasir dan berenang. Anak pantura ini memang suka sekali dengan air.
Setelah salat asar dan ganti baju, suami langsung mengajak Raina ke pantai dengan membawa ban renang dan mainan pasir. Saya menyusul di belakang.
Kesan pertama lihat Pantai Bara, saya agak kecewa. Bayangan saya, pantai ini bakalan sepi. Ternyata pas kami sampai sana, pantai lagi ramai-ramainya. Ada rombongan outing, wisatawan yang berkemah, juga rombongan keluarga yang menginap di hotel sebelah. Ditambah lagi, langit sedikit mendung dan angin kencang, membuat 'sampah' kayu dan rumput laut berkumpul di sepanjang pantai.
Karena pantainya sedikit kotor, suami dan Raina pun tak terlalu lama berenang. Mereka lebih asyik bermain pasir. Pasirnya memang benar-benar putih dan sangat halus. Kalau kata iklan di radio, pasir pantai di Bira dan Bara sehalus tepung terigu. Ini hiperbol sih alias lebay haha.
Malamnya kami sengaja cari makan di luar hotel. Maksudnya sekalian malam mingguan. Keluar hotel kami harus lewat hutan lagi. Gelap, sepi dan jalanan berbatu. Baru setelah beberapa kilometer jalanan beraspal mulus. Dan di sepanjang jalan dari Bara menuju Bira, berjajar bar-bar mini lengkap dengan mbak-mbak berpakaian minimalis yang nongkrong cantik di pinggir jalan. Tampak seperti lokalisasi menurut saya.
Kami akhirnya makan di dekat pelabuhan. Karena tidak ada tempat makan yang terlihat spesial, jadi kami memilih warung makan seafood khas Jawa Timur. Bayangan saya, bakalan ada ikan bakar dengan sambal sedap seperti di pulau Jawa. Tapi harapan sirna, sambal di warung ini lebih masuk ke citarasa Sulawesi, yang tidak terlalu cocok dengan lidah saya.
Perut kenyang, kami pun pulang. Sesampainya di penginapan, kami duduk-duduk di teras resto hotel yang menghadap langsung ke laut. Pantai yang minim penerangan membuat hamburan bintang terlihat jelas di langit. Cantik sekali.
Malam makin larut, kami pun kembali ke kamar.
Keesokan pagi, Raina sulit sekali dibangunkan. Suami yang sudah bangun pun ikutan tidur lagi melihat anaknya yang masih pulas. Jadi kami gagal menikmati suasana pantai pagi hari.
Raina baru berhasil melek sekitar pukul 8. Saya ajak dia sarapan dulu, tapi karena restoran hotel langsung menghadap ke pantai Raina pun gagal fokus. Tidak mau sarapan dan langsung merengek minta main pasir. Jadi suasana di meja makan dipastikan rusuh.
Kelar sarapan, pantai sudah makin panas. Yaiyalaaah. Kondisi pantai yang lumayan ramai di pagi hari mendadak sepi karena orang-orang mungkin tak mau kulitnya gosong. Suami yang sudah siap dengan mainan pasir dan ban renang pun balik lagi ke hotel karena takut anaknya kepanasan. Akhirnya Raina mainan pasir yang ada di halaman hotel. Lumayan adem karena banyak pohon.
Tapi melihat pantai yang kosong melompong, rasanya kok eman-eman kalau tidak diabadikan. Saya pun mengajak Raina dan suami untuk turun ke pantai dan foto-foto. Niatnya hanya sebentar, eh tiba-tiba matahari sedikit tertutup awan. Alhamdulillah, saya bisa berenang-berenang cantik jadinya. Gosong-gosong sedikit tak apalah, namanya juga main di pantai ya kan hahaha.
Pantainya benar-benar sepi serasa milik pribadi. Kondisinya juga lebih bersih. Hamparan pasir putih yang berpadu dengan warna toska dan biru muda air laut. Benar-benar cantik. Masya Allah.
Appalarang tak terlalu jauh dari Tanjung Bira. Dengan mobil paling hanya butuh waktu 30 menit untuk sampai ke sana. Yang jadi masalah, jalanannya cukup terjal untuk mobil sedan kami. Ada beberapa turunan tajam dan berkelok. Alhamdulillah kami bisa selamat sampai sana.
Tepat tengah hari saat matahari lagi 'lucu-lucunya' kami menikmati pemandangan Tebing Appalarang. Masya Allah. Sejauh mata memandang yang terlihat hanya perpaduan warna toska, biru muda dan biru tua air laut. Ditambah lagi karang-karang tinggi nan kokoh.
Dari kejauhan, tampak beberapa wisatawan yang snorkeling di bawah tebing. Saya tidak berani turun ke bawah karena Raina sedang tidur dan kondisinya sangat panas. Tak lama kami pun langsung kembali ke mobil.
Alhamdulillah saat pulang kami tak harus melewati jalan terjal sebelumnya. Sepertinya memang sudah diatur demikian, jalur masuk dan pulang dibuat berbeda agar tak terlalu membahayakan wisatawan.
Tujuan kami berikutnya adalah mampir ke galangan kapal pinisi di Tana Lemo, Bonto Bahari. Desa ini menjadi pusat produksi kapal layar legendaris yang harganya bisa mencapai miliaran rupiah. Saat datang ke sana, ada puluhan kapal pinisi setengah jadi berjajar di pinggir pantai. Saya ingin naik ke kapal, tapi tidak mungkin meninggalkan Raina sendirian di mobil dengan kondisi tidur. Kamera pun saya serahkan pada suami. Setelah beberapa kali jepret kami pun melanjutkan perjalanan.
Rencananya mau mencoba kuliner Coto Kuda Jeneponto. Sayangnya, sesampainya di Jeneponto kami kesulitan menemukan warung makan yang menyajikan coto kuda. Mengingat waktu yang makin sore dan kami belum makan siang, akhirnya kami makan di rumah makan biasa, daripada kelaparan.
Usai makan dan salat, sedan kecil kami pun melaju kencang hingga Makassar.
Comments
Post a Comment