Skip to main content

Yusianto, Pencicip Kopi Bersertifikat Internasional Pertama di Indonesia



Di balik nikmatnya kopi-kopi yang terseduh di kafe, ada seorang pencicip kopi yang menjadi ujung tombak dari cita rasa kopi. Contohnya Yusianto, salah satu pencicip kopi bersertifikat internasional pertama di Indonesia. Lidahnya bisa dibilang 'senjata' untuk mendapatkan kopi dengan cita rasa unggulan.

Yusianto adalah seorang peneliti sekaligus sensory analyst (penguji cita rasa) di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslit Koka), Jember, Jawa Timur, yang juga dikenal sebagai 'dokter kopi' Indonesia. Pria kelahiran Nganjuk, 12 Mei 1961 ini adalah salah satu dari 24 orang pencicip kopi bersertifikat internasional pertama di Indonesia.


Lulus dari jurusan Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bandung (IPB) di tahun 1988, membawa pria berjenggot ini terjun sebagai seorang peneliti di Puslit Koka. Tugas utamanya adalah meneliti dan menemukan teknologi-teknologi baru untuk menghasilkan kopi dengan kualitas yang baik. Dan sebagai peneliti di bidang pasca panen, ia kini lebih banyak berkecimpung di bagian sensory analysis (uji cita rasa) sebagai seorang pencicip kopi.


Tak main-main, kemampuan lidahnya untuk mencicipi cita rasa kopi telah mendapatkan sertifikasi internasional dari Coffee Quality Institute, yakni penguji kopi di Amerika yang terkenal dengan Specialty Coffee Association of America (SCAA).


"Saya ada sertifikat dari Coffee Quality Institute tahun 2009. Saya yang pertama di Indonesia, yang pertama ada 24 orang," ujar Yusianto, saat ditemui  di Kebun Percobaan Puslit Koka, Kaliwining, Jember, Jumat (17/5/2013).


Sebagai pencicip kopi, sehari-hari Yus harus mencium dan mencicip berbagai jenis kopi. Tak hanya kopi yang berasal dari Puslit Koka, tetapi juga pesanan kopi dari seluruh Indonesia. Dalam satu hari, ia bisa mencicip hingga 60 cangkir kopi. Jenis kopinya tergantung 'pasien' yang datang pada 'dokter kopi' ini.


Menurutnya, tugas utama dari seorang pencicip kopi adalah mencari cacat cita rasa, dengan cara melihat, mencium dan mencicip kopi. Kemudian pencicip kopi juga dituntut memiliki kemampuan untuk membedakan dan mengidentifikasi jenis kopi. Karena itulah kepekaan indera sangat dibutuhkan untuk profesi ini.


"Kopi di seluruh Indonesia pernah saya cicipi, kemudian ditambah kopi-kopi dari luar negeri. Saya secara pribadi paling suka kopi Toraja, kopi arabica terbaik di Indonesia, karena aroma dan cita rasanya kuat. Cita rasanya sulit digambarkan, seperti cita rasa madu," tutur ayah 7 anak ini.


Menjadi seorang pencicip kopi, Yus juga harus siap dengan setiap rasa kopi yang diujinya. Tak melulu kopi enak, lidahnya juga kerap kali bertemu kopi berkualitas buruk dengan rasa yang tidak enak. Tapi baginya itulah konsekuensi sebagai seorang pencicip kopi, yang harus siap dengan barang yang tidak enak.


"Sebagai pencicip yang diperlukan harus sehat, baik fisik maupun rohaninya. Nggak boleh pas marah nyicipin kopi karena nanti kopinya jadi jelek semua, musti harus sehat," tandasnya.



Published: detikNews, 20 Mei 2013

Comments

Popular posts from this blog

Berkunjung ke Kampung Pengembara Laut Suku Bajo Buton

Mencentang satu lagi destinasi yang sudah lama ada di bucketlist Pulau Buton: Kampung Suku Bajo. Suku Bajo dikenal sebagai pengembara laut ulung. Laut bagi mereka bukan hanya tempat mencari nafkah, tetapi juga rumah untuk tinggal. Mereka hidup di atas dan di bawah lautan. Mengapung dan menyelam di sana. Anak kecil hingga orang dewasa. Masyarakat Suku Bajo sering hidup berpindah-pindah. Mereka membuat perkampungan sendiri di atas karang dan mengapung di lautan, terpisah dari pemukiman warga di daratan. Di Indonesia, Suku Bajo bisa ditemui di perairan Kalimantan Timur (Berau, Bontang), Kalimantan Selatan (Kota Baru), Sulawesi Selatan (Selayar), Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur (Pulau Boleng, Seraya, Longos, Komodo), Sapeken, Sumenep, dan wilayah Indonesia timur lainnya. Saya beruntung bisa menyaksikan sendiri keseharian masyarakat Suku Bajo di Pulau Buton. Mereka membuat perkampungan di Desa Kondowa atau dikenal dengan Bajo Bahari, Kecamatan Wabula,

2,5 Tahun Menunggu Raina

Raina Nahda Fauzi.  Itulah nama yang saya dan suami berikan pada anak pertama kami. Bayi perempuan cantik yang kehadirannya sudah lama kami nantikan. Saya memang tak 'seberuntung' perempuan lain yang langsung hamil setelah sebulan, dua bulan, atau tiga bulan menikah. Raina lahir 31 Oktober 2015, dua setengah tahun setelah saya menikah. Di awal pernikahan, saya dan suami memang sepakat untuk menunda kehamilan. Alasannya karena kami masih sibuk mondar-mandir mencari rumah. Namun, di saat kami sudah punya rumah sendiri dan siap untuk memiliki momongan, kehamilan justru tak kunjung datang. Beberapa bulan saya mencoba hamil secara alami, hasilnya nihil. Saya dan suami pun memutuskan untuk mencari bantuan dokter. Kami sama-sama memeriksakan diri. Ternyata masalahnya ada di tubuh saya. Saya didiagnosa menderita polycystic ovary syndrome (PCOS) atau sindrom ovarium polikistik, yaitu gangguan hormonal yang umum di kalangan perempuan usia reproduksi. Perempuan dengan PCO

PCOS, Olahraga, dan Hamil Lagi

Saya hamil lagi. Rasanya tak percaya saat melihat hasil test pack pagi itu. Dua garis merah, satu tegas satu samar, tapi jelas menggambarkan hasilnya positif. Saya kaget, sungguh tak menyangka bakalan hamil lagi secepat ini. Saya penderita  polycystic ovary syndrome  (PCOS). Dulu saya harus terapi macam-macam dan minum obat ini itu untuk bisa hamil Raina. Juga butuh waktu lama dan biaya yang tidak sedikit. ( Baca juga: 2,5 Tahun Menunggu Raina ) Alhamdulillah hamil kali ini benar-benar rezeki tak terkira dari Allah. Saya hamil alami tanpa program apapun, tanpa minum obat apapun. Umur Raina juga sudah 2 tahun, jadi saya tidak punya hutang menyusui lagi. Allah Maha Baik. Pakai kontrasepsi? Semenjak Raina lahir hingga ulang tahun ke-2 saya selalu menggunakan kontrasepsi. Lho? Bukannya PCOS bakalan susah hamil? Iya, memang. Haid saya masih belum teratur bahkan setelah Raina lahir. Tapi tidak separah sebelum punya anak. Dan saya ingat pesan dokter kandungan