Skip to main content

Uniknya Pantai Hou, Pantai Berbatu Kerikil di Buton



Dari Jumat malam saya sudah mengubek-ubek instagram untuk mencari pantai di sekitaran Baubau yang sekiranya sepi. Lalu ketemulah Pantai Hou di Pasarwajo, Buton.

Dari yang beredar di internet, Pantai Hou terlihat berpasir putih bersih dengan batuan karang besar di sekitarnya. Yang paling menarik perhatian saya, tampak sebuah pasir timbul tak jauh dari bibir pantai.

"Wah, bagus nih kalau anak-anak foto di sini," pikir saya. Jadi kami putuskan untuk pergi ke sana.

Dengan berbekal Google Maps, sekitar 2 jam dari Baubau kami sampai di lokasi tujuan. Ternyata pantainya masih alami, belum dikelola oleh pemerintah setempat sebagai destinasi wisata. Tidak ada petunjuk jalan, tidak ada plang nama lokasi, tidak ada pintu masuk, apalagi tempat parkir. Setelah bertanya beberapa kali dengan warga setempat, ternyata jalan masuk ke pantai hanya berupa jalan setapak di tengah kebun jambu.

Kami memarkir mobil di pinggir jalan dan menyusuri jalan setapak menuju pantai. Pasir timbul di dekat pantai sudah terlihat dari atas tebing tempat kami berada. Sayangnya, kami kesulitan untuk turun ke pantai. Tinggi tebingnya sekitar 5 meter dengan undakan dari batu karang yang cukup terjal. Saya atau suami mungkin bisa saja menuruni batu-batu karang itu. Tapi dengan membawa anak-anak menurut kami terlalu berisiko.

Kami akhirnya balik kanan dan memutuskan kembali ke mobil. Beruntungnya, kami bertemu seorang laki-lali yang sedang mengumpulkan ranting kering di dekat tempat kami memarkir mobil. Menurut bapak itu, tidak jauh dari situ ada pantai yang tak bertebing. Jadi kami putuskan untuk ke sana.

Benar saja, sekitar 100 meter dari tempat kami parkir sebelumnya tampak sebuah pantai dari jalan raya. Lagi-lagi kami harus menyusuri jalan setapak di tengah kebun jambu, tapi kali ini tanpa harus menuruni tebing.

Pantai ini sepi dan tampak sangat unik. Sepanjang bibir pantai yang terlihat bukan pasir putih melainkan batu kerikil. Ya, pantai berbatu kerikil.

Ini pertama kalinya saya melihat pantai berbatu kerikil. Benar-benar kerikil yang biasanya banyak ditemui sebagai penghias taman atau akuarium.

Saat kami datang sekitar pukul 14.30 WITA, kondisi pantai sedang surut. Batuan kerikil tampak jelas di sekitar pantai. Tak jauh dari tempat kami berdiri juga tampak hamparan batuan yang cukup luas.

Di pantai ini juga bisa dijumpai banyak keong hidup. Keong-keong berjalan bebas di antara bebatuan. Karena sedang surut, kami juga bisa melihat beberapa ikan kecil yang berenang di air dangkal sekitar pantai.

Sayangnya, anak-anak tak terlalu senang bermain di sini. Dayu selalu minta gendong karena berjalan di kerikil agak menyusahkan untuk kaki-kaki kecilnya. Sementara bagi Raina, ke pantai sama dengan bermain pasir. Dia agak kecewa melihat pantai yang tidak ada pasirnya. Ditambah, banyak keong laut berjalan di antara batuan kerikil yang membuatnya tak nyaman. Raina takut menginjak keong.

(Foto-foto lainnya ada di instagram @merrywahyu)

Comments

Popular posts from this blog

Berkunjung ke Kampung Pengembara Laut Suku Bajo Buton

Mencentang satu lagi destinasi yang sudah lama ada di bucketlist Pulau Buton: Kampung Suku Bajo. Suku Bajo dikenal sebagai pengembara laut ulung. Laut bagi mereka bukan hanya tempat mencari nafkah, tetapi juga rumah untuk tinggal. Mereka hidup di atas dan di bawah lautan. Mengapung dan menyelam di sana. Anak kecil hingga orang dewasa. Masyarakat Suku Bajo sering hidup berpindah-pindah. Mereka membuat perkampungan sendiri di atas karang dan mengapung di lautan, terpisah dari pemukiman warga di daratan. Di Indonesia, Suku Bajo bisa ditemui di perairan Kalimantan Timur (Berau, Bontang), Kalimantan Selatan (Kota Baru), Sulawesi Selatan (Selayar), Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur (Pulau Boleng, Seraya, Longos, Komodo), Sapeken, Sumenep, dan wilayah Indonesia timur lainnya. Saya beruntung bisa menyaksikan sendiri keseharian masyarakat Suku Bajo di Pulau Buton. Mereka membuat perkampungan di Desa Kondowa atau dikenal dengan Bajo Bahari, Kecamatan Wabula,

2,5 Tahun Menunggu Raina

Raina Nahda Fauzi.  Itulah nama yang saya dan suami berikan pada anak pertama kami. Bayi perempuan cantik yang kehadirannya sudah lama kami nantikan. Saya memang tak 'seberuntung' perempuan lain yang langsung hamil setelah sebulan, dua bulan, atau tiga bulan menikah. Raina lahir 31 Oktober 2015, dua setengah tahun setelah saya menikah. Di awal pernikahan, saya dan suami memang sepakat untuk menunda kehamilan. Alasannya karena kami masih sibuk mondar-mandir mencari rumah. Namun, di saat kami sudah punya rumah sendiri dan siap untuk memiliki momongan, kehamilan justru tak kunjung datang. Beberapa bulan saya mencoba hamil secara alami, hasilnya nihil. Saya dan suami pun memutuskan untuk mencari bantuan dokter. Kami sama-sama memeriksakan diri. Ternyata masalahnya ada di tubuh saya. Saya didiagnosa menderita polycystic ovary syndrome (PCOS) atau sindrom ovarium polikistik, yaitu gangguan hormonal yang umum di kalangan perempuan usia reproduksi. Perempuan dengan PCO

PCOS, Olahraga, dan Hamil Lagi

Saya hamil lagi. Rasanya tak percaya saat melihat hasil test pack pagi itu. Dua garis merah, satu tegas satu samar, tapi jelas menggambarkan hasilnya positif. Saya kaget, sungguh tak menyangka bakalan hamil lagi secepat ini. Saya penderita  polycystic ovary syndrome  (PCOS). Dulu saya harus terapi macam-macam dan minum obat ini itu untuk bisa hamil Raina. Juga butuh waktu lama dan biaya yang tidak sedikit. ( Baca juga: 2,5 Tahun Menunggu Raina ) Alhamdulillah hamil kali ini benar-benar rezeki tak terkira dari Allah. Saya hamil alami tanpa program apapun, tanpa minum obat apapun. Umur Raina juga sudah 2 tahun, jadi saya tidak punya hutang menyusui lagi. Allah Maha Baik. Pakai kontrasepsi? Semenjak Raina lahir hingga ulang tahun ke-2 saya selalu menggunakan kontrasepsi. Lho? Bukannya PCOS bakalan susah hamil? Iya, memang. Haid saya masih belum teratur bahkan setelah Raina lahir. Tapi tidak separah sebelum punya anak. Dan saya ingat pesan dokter kandungan