Skip to main content

Kecantikan Lappa Laona, 'Swiss' ala Sulawesi Selatan



Matahari mulai tinggi. Jam digital di ponsel pintarku menunjukkan pukul 11.20. Terlalu siang memang untuk memulai sebuah perjalanan. Tapi hari itu 17 Agustus, kami tidak ingin melewatkan momen spesial perayaan kemerdekaan Indonesia walaupun hanya secara virtual.

Setelah selesai mengikuti upacara lewat layar kaca, anak-anak bersemangat masuk ke dalam mobil mungil kesayangan kami. Tujuannya adalah Lappa Laona, destinasi yang sudah kami riset dan rencanakan dua minggu sebelumnya.

Lappa Laona merupakan dataran tinggi 1.000 mdpl di Kabupatan Barru, Sulawesi Selatan. Dari Makassar berjarak 140 kilometer dan dapat ditempuh dalam waktu sekitar 4 jam perjalanan darat.

Dari balik jendela mobil tak henti-hentinya kami berdecak kagum menyaksikan pemandangan yang memanjakan mata: bentangan sawah nan hijau, gugusan bukit menjulang, pepohonan pinus yang berjajar rapi, ada juga sapi, kuda dan hewan ternak lainnya yang dibiarkan bebas merumput.

Rute perjalanan ke sana cukup menantang. Ada banyak kelokan mengitari gunung, tanjakan terjal, juga beberapa ruas jalan sempit yang langsung menghadap jurang tanpa pembatas.

Kami sampai di Lappa Laona sekitar pukul 15.30. Harga tiket masuk dihitung per mobil sebesar Rp 10.000.

Angin kencang dan udara dingin langsung menyergap begitu pintu mobil dibuka. Saya terdiam sejenak saat melihat pemandangan yang tersaji di depan mata. Deretan bukit hijau kebiruan yang membentuk lapisan dari kejauhan, hamparan padang rumput yang luas, langit biru yang jernih, serta pondok-pondok kayu yang sengaja dibuat sebagai ikon tempat wisata. Dalam sekejap otak saya berpikir ini adalah Selandia Baru atau Swiss, meski saya belum pernah ke sana. Tapi bila melihat gambar yang beredar di internet, rasanya tak berlebihan bila membandingkan dua negara cantik itu dengan Lappa Laona. Masya Allah.

Setelah 10 menit menikmati pemandangan dari tepi tebing, kami memilih menjauh dan mencari padang rumput yang lebih aman untuk anak-anak. Raina dan Dayu sontak berhamburan keluar mobil. Mereka sangat senang, merdeka berlarian tanpa harus mengenakan masker.

"Bunda aku kayak Elsa (Frozen), bajuku terbang-terbang," teriak Raina seraya berlarian ke sana-ke mari sambil merentangkan kedua tangan, seolah burung yang siap terbang bersama angin. Tubuh kecilnya yang keras diterpa angin sama sekali tak dihiraukannya.

Hari itu kebanyakan pengunjung adalah anak muda dengan atribut merah putih. Kelihatannya mereka sedang merayakan kemerdekaan dengan berfoto membawa bendera di tepi tebing. Spot itu memang agak ramai, juga di sekitar pondok kayu. Sementara posisi kami ada di bukit bagian atas.

Menurut saya yang parno Corona, Lappa Laona cocok dijadikan tujuan penghilang stres di tengah pandemi. Tempatnya begitu luas, sangat memungkinkan untuk menjaga jarak. Bukan hanya semeter-dua meter, tapi bahkan hitungan kilometer. Tentu saja prinsip VDJ (Ventilasi, Durasi dan Jarak) selalu kami perhitungkan. Spot yang kami pilih benar-benar sepi. Dan saat harus papasan dengan orang lain memakai masker wajib hukumnya.

Konon saat pagi hari Lappa Laona akan dipenuhi kabut karena udaranya sangat dingin. 'Negeri di Atas Awan' pun jadi nama lain perbukitan hijau ini. Ada yang bilang pemandangan matahari tenggelam di sini juga sangat cantik. Sayang, kami harus pulang sebelum bisa melihatnya karena takut terlalu malam tiba di Makassar.

Perjalanan pulang memakan waktu lebih lama karena kami beberapa kali berhenti untuk makan, isi bensin dan buang air kecil. Saat berangkat kami membawa makanan dari Makassar untuk bekal makan siang di jalan. Namun untuk makan malam, kami lebih nyaman menyantap Pop Mie panas di dalam mobil yang terparkir di depan Indomaret, ketimbang harus masuk warung makan antah-berantah.

(Foto-foto lainnya ada di Instagram @merrywahyu)

Comments

Popular posts from this blog

Berkunjung ke Kampung Pengembara Laut Suku Bajo Buton

Mencentang satu lagi destinasi yang sudah lama ada di bucketlist Pulau Buton: Kampung Suku Bajo. Suku Bajo dikenal sebagai pengembara laut ulung. Laut bagi mereka bukan hanya tempat mencari nafkah, tetapi juga rumah untuk tinggal. Mereka hidup di atas dan di bawah lautan. Mengapung dan menyelam di sana. Anak kecil hingga orang dewasa. Masyarakat Suku Bajo sering hidup berpindah-pindah. Mereka membuat perkampungan sendiri di atas karang dan mengapung di lautan, terpisah dari pemukiman warga di daratan. Di Indonesia, Suku Bajo bisa ditemui di perairan Kalimantan Timur (Berau, Bontang), Kalimantan Selatan (Kota Baru), Sulawesi Selatan (Selayar), Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur (Pulau Boleng, Seraya, Longos, Komodo), Sapeken, Sumenep, dan wilayah Indonesia timur lainnya. Saya beruntung bisa menyaksikan sendiri keseharian masyarakat Suku Bajo di Pulau Buton. Mereka membuat perkampungan di Desa Kondowa atau dikenal dengan Bajo Bahari, Kecamatan Wabula, ...

2,5 Tahun Menunggu Raina

Raina Nahda Fauzi.  Itulah nama yang saya dan suami berikan pada anak pertama kami. Bayi perempuan cantik yang kehadirannya sudah lama kami nantikan. Saya memang tak 'seberuntung' perempuan lain yang langsung hamil setelah sebulan, dua bulan, atau tiga bulan menikah. Raina lahir 31 Oktober 2015, dua setengah tahun setelah saya menikah. Di awal pernikahan, saya dan suami memang sepakat untuk menunda kehamilan. Alasannya karena kami masih sibuk mondar-mandir mencari rumah. Namun, di saat kami sudah punya rumah sendiri dan siap untuk memiliki momongan, kehamilan justru tak kunjung datang. Beberapa bulan saya mencoba hamil secara alami, hasilnya nihil. Saya dan suami pun memutuskan untuk mencari bantuan dokter. Kami sama-sama memeriksakan diri. Ternyata masalahnya ada di tubuh saya. Saya didiagnosa menderita polycystic ovary syndrome (PCOS) atau sindrom ovarium polikistik, yaitu gangguan hormonal yang umum di kalangan perempuan usia reproduksi. Perempuan dengan PCO...

Mengenal Kombo, Baju Adat Buton yang Mirip Hanbok Korea

Kebaya warna cerah berkerah tinggi dengan detail manik-manik di sekeliling leher dan pergelangan tangan, dipasangkan dengan kain sarung berwarna terang yang diikat di bagian dada. Sekilas baju adat ini mirip hanbok, pakaian tradisional asal Korea Selatan. Tapi tahukah kamu pakaian ini asli milik Indonesia? Namanya kombo, pakaian adat yang jadi kebanggaan perempuan Buton, Sulawesi Tenggara. Kombo merupakan baju adat yang khusus digunakan oleh perempuan yang sudah menikah. Pakaian ini terdiri dari atasan baju kebaya berkerah tinggi, biasanya berbahan brokat atau satin dengan warna cerah. Sedangkan bawahannya berupa kain sarung lebar berbahan satin yang dililit di bagian dada. Sarung yang digunakan biasanya memiliki garis-garis berlapis dengan warna-warni terang. Banyaknya lapisan warna pada kain sarung menggambarkan derajat si empunya. Lapisan terbanyak adalah 9 warna yang biasanya dikenakan oleh wanita bangsawan, tamu kehormatan atau anggota kesultanan. Sarung khas Buton memang dikenal ...