Skip to main content

Rumah Bulat, Rumah Tradisional NTT yang Rentan Penyakit



Rumah bulat merupakan rumah tradisional Nusa Tenggara Timur (NTT) yang masih banyak digunakan oleh penduduk yang tinggal di pedesaan, seperti di desa Bitobe, Amfoang Tengah. Sayangnya, kondisi rumah tanpa jendela ini juga digunakan sebagai tempat pengasapan hasil panen, membuat rumah bulat menjadi 'sarang penyakit'.

Rumah yang berbentuk kerucut dengan atap terbuat dari daun lontar kering merupakan tempat yang aman untuk berlindung dari serangan angin dingin di malam hari. Rumah tradisional ini dibuat hanya dengan satu pintu berukuran pendek, yang mengharuskan orang menunduk ketika ingin masuk ke dalamnya.

Rumah bulat tidak memiliki jendela dan sekat. Semua aktivitas di dalam rumah, seperti tidur, makan bahkan memasak, dilakukan dalam satu ruangan. Selain sebagai tempat tinggal, rumah bulat juga digunakan sebagai tempat pengawetan bahan pangan.

Di tengah ruangan, ada perapian menggunakan kayu bakar yang digunakan untuk memasak, juga mengasapi bahan pangan berupa hasil bumi yang dipanen selama musim hujan, seperti jagung dan padi, agar awet hingga bertahun-tahun.

Bahan pangan hasil panen diletakkan di bagian atap rumah, yang kemudian selalu diasap agar tidak busuk dan dapat bertahan lama. Hal ini dilakukan karena penduduk desa hanya bisa bercocok tanam selama 110 hari dalam setahun selama musim hujan. Kondisi tanah yang gersang dan sulit air, membuat tanah-tanah di kecamatan Amfoang Tengah tidak memungkinkan untuk ditanami selama musim panas.

Rumah bulat juga tidak berubin dan masih berlantai tanah, membuat kondisinya pengap, gelap, penuh debu dan asap, yang sangat mengancam kesehatan penghuninya.

Hal ini diakui Camat Amfoang Tengah, Apolos Natbaes. Menurutnya, kasus infeksi saluran napas atas (ISPA) memang paling banyak terjadi di Amfoang Tengah, salah satu daerah terpencil di Kupang. Selain ISPA, diare pada anak-anak juga kerap terjadi. Tak tanggung-tanggung, menurut data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) 2010, NTT merupakan salah satu provinsi dengan angka kematian bayi dan balita tertinggi di Indonesia. Diare adalah biang keladinya.

Saat berkunjung ke Kupang beberapa hari lalu, saya berkesempatan masuk ke dalam rumah bulat dan merasakan bagaimana rasanya tinggal di dalamnya. Kondisinya sangat gelap, meski saat matahari sedang berada di atas kepala. Hanya beberapa menit di dalamnya, saya sudah merasa sesak napas. Bagaimana tidak, perapian yang berada di tengah rumah dengan kepulan asapnya, tidak ada jendela, lantai dari tanah yang berdebu, membuat oksigen, debu dan asap saling berebut masuk ke paru-paru.

Tapi hal itu tak terlihat dari raut muka penduduk asli Bitobe. Lingkungan yang keras sepertinya sudah menempa tubuh mereka. Terang saja, sejak baru lahir bayi-bayi di Bitobe sudah 'dipaksa' untuk menghirup asap dari perapian yang ada di dalam rumah.

Setiap ibu yang baru melahirkan di desa Bitobe harus tinggal di dalam rumah bulat selama 40 hari, tanpa mengenakan pakaian. Tubuhnya harus selalu diasapi, yang menurut kepercayaan dapat membuatnya lebih cepat pulih.

Di dalam rumah yang tidak memiliki jendela, kayu terus dibakar, membuat seisi rumah penuh dengan kepulan asap. Di sanalah ibu yang baru melahirkan harus tinggal, melakukan kegiatan selama 40 hari, termasuk juga menyusui anaknya yang masih merah.

Kebetulan saat saya berkunjung ke Bitobe, ada seorang ibu yang baru saja melahirkan. Ia melahirkan tanpa bantuan orang lain. Jangankan dokter atau bidan, dukun beranak saja hanya datang untuk memotongnya ari-arinya.

Saat saya masuk ke dalam rumah, ibu itu terlihat tidak mengenakan baju. Ia sedang menyusui anaknya yang baru berusia satu hari, sambil punggungnya terus dipanasi dengan asap kayu bakar. 5 Menit saja di dalamnya, mata saya sudah perih karena asap. Tak terbayangkan bagaimana rasanya di dalam situ selama 40 hari, terlebih bagi bayi baru lahir. Sungguh menakjubkan!

Tapi bagaimana pun rumah bulat adalah rumah tradisional yang menjadi saksi sejarah NTT. Zaman dulu, rumah bulat tidak hanya dijadikan tempat tinggal, tetapi juga tempat berlindung dari musuh saat peperangan suku. Pintunya yang dibuat pendek ternyata bertujuan untuk menyulitkan musuh masuk ke dalam rumah, pun dengan tidak adanya jendela.

Meski sudah memiliki rumah tembok yang sehat, nyatanya orang-orang di Bitobe lebih nyaman untuk tidur di rumah bulat. Bagi mereka, rumah bulat bisa menghangatkan ketika udara sedang dingin, juga membuat sejuk saat udara sedang panas-panasnya.









Comments

Popular posts from this blog

Berkunjung ke Kampung Pengembara Laut Suku Bajo Buton

Mencentang satu lagi destinasi yang sudah lama ada di bucketlist Pulau Buton: Kampung Suku Bajo. Suku Bajo dikenal sebagai pengembara laut ulung. Laut bagi mereka bukan hanya tempat mencari nafkah, tetapi juga rumah untuk tinggal. Mereka hidup di atas dan di bawah lautan. Mengapung dan menyelam di sana. Anak kecil hingga orang dewasa. Masyarakat Suku Bajo sering hidup berpindah-pindah. Mereka membuat perkampungan sendiri di atas karang dan mengapung di lautan, terpisah dari pemukiman warga di daratan. Di Indonesia, Suku Bajo bisa ditemui di perairan Kalimantan Timur (Berau, Bontang), Kalimantan Selatan (Kota Baru), Sulawesi Selatan (Selayar), Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur (Pulau Boleng, Seraya, Longos, Komodo), Sapeken, Sumenep, dan wilayah Indonesia timur lainnya. Saya beruntung bisa menyaksikan sendiri keseharian masyarakat Suku Bajo di Pulau Buton. Mereka membuat perkampungan di Desa Kondowa atau dikenal dengan Bajo Bahari, Kecamatan Wabula,

2,5 Tahun Menunggu Raina

Raina Nahda Fauzi.  Itulah nama yang saya dan suami berikan pada anak pertama kami. Bayi perempuan cantik yang kehadirannya sudah lama kami nantikan. Saya memang tak 'seberuntung' perempuan lain yang langsung hamil setelah sebulan, dua bulan, atau tiga bulan menikah. Raina lahir 31 Oktober 2015, dua setengah tahun setelah saya menikah. Di awal pernikahan, saya dan suami memang sepakat untuk menunda kehamilan. Alasannya karena kami masih sibuk mondar-mandir mencari rumah. Namun, di saat kami sudah punya rumah sendiri dan siap untuk memiliki momongan, kehamilan justru tak kunjung datang. Beberapa bulan saya mencoba hamil secara alami, hasilnya nihil. Saya dan suami pun memutuskan untuk mencari bantuan dokter. Kami sama-sama memeriksakan diri. Ternyata masalahnya ada di tubuh saya. Saya didiagnosa menderita polycystic ovary syndrome (PCOS) atau sindrom ovarium polikistik, yaitu gangguan hormonal yang umum di kalangan perempuan usia reproduksi. Perempuan dengan PCO

PCOS, Olahraga, dan Hamil Lagi

Saya hamil lagi. Rasanya tak percaya saat melihat hasil test pack pagi itu. Dua garis merah, satu tegas satu samar, tapi jelas menggambarkan hasilnya positif. Saya kaget, sungguh tak menyangka bakalan hamil lagi secepat ini. Saya penderita  polycystic ovary syndrome  (PCOS). Dulu saya harus terapi macam-macam dan minum obat ini itu untuk bisa hamil Raina. Juga butuh waktu lama dan biaya yang tidak sedikit. ( Baca juga: 2,5 Tahun Menunggu Raina ) Alhamdulillah hamil kali ini benar-benar rezeki tak terkira dari Allah. Saya hamil alami tanpa program apapun, tanpa minum obat apapun. Umur Raina juga sudah 2 tahun, jadi saya tidak punya hutang menyusui lagi. Allah Maha Baik. Pakai kontrasepsi? Semenjak Raina lahir hingga ulang tahun ke-2 saya selalu menggunakan kontrasepsi. Lho? Bukannya PCOS bakalan susah hamil? Iya, memang. Haid saya masih belum teratur bahkan setelah Raina lahir. Tapi tidak separah sebelum punya anak. Dan saya ingat pesan dokter kandungan